21 | it's always been difficult

25 11 1
                                    

Sore itu seharusnya tidaklah buruk. Salah satu kenangan terbaik sepanjang hidupku, tampaknya tak terlalu pudar dalam ingatanku yang payah. Kalau sampai terbuang begitu saja, jelas sekali aku tak termaafkan.

Hari ulang tahunku ke-13, aku hampir bunuh diri. Ternyata detensi ingin mati kupelihara sejak masih bocah (agak mengesalkan, omong-omong, artinya sejak itu pula hidupku dihinggapi kelabu). Aku sudah menuliskan surat perpisahan hanya untuk Kak Jisung, sungguh-sungguh menuliskan maaf beribu kali, sebab cuma dia yang pasti menungguku. Para penghuni kelas tidak akan repot-repot menginjakkan kaki di pemakamanku, apalagi sampai menghadiahkan bunga serta air mata. Kehilangan satu nyawa yang tidak ada hubungannya dengan mereka, sama sekali tak berkesan. Lagi pula itu cuma nyawaku yang tidak berarti.

Tadinya aku sudah memantapkan hati walau agaknya hari itu aku masih sama pengecutnya. Sebagai sosok yang tak peduli perkara masa depan, aku tidak sedih hari ulang tahunku sangat sepi. Malahan aku selalu lupa tanggal jika tak diingatkan. Waktu itu aku cuma takut, semakin bertambah usia semakin hidupku terasa pahit. Aku ingin mengakhirinya di usiaku yang ke-13, aku tak ingin usiaku bertambah lagi.

Aku meringkuk di kasur, membaca berulang kali isi suratnya dengan tatapan sendu dan meneteskan air mata, tetapi aku belum menyentuh pecahan kaca.

Lalu aku mendengar Kak Jisung bernyanyi dari balik pintu kamarku. Suaranya merdu dan bagus. Aku mengusap air mataku, menyembunyikan suratnya di bawah lipatan selimut, lantas berjalan sempoyongan membuka pintu. "Selamat ulang tahun, Yeon Minhyun," ujarnya bahagia, "selamat ulang tahun adikku sayang."

Ada kue tar cokelat di tangannya, lengkap ditumbuhi lilin-lilin tunggal yang menyala berjumlah tiga belas. Kelihatannya kue itu mahal, tapi Kak Jisung tetap membelinya. Terutama rasanya cokelat, rasa yang paling kusukai. Aku yakin saat itu aku senang sekali. Mataku memanas, entah karena sedih atau memang terharu atau kujadikan kesempatan untuk menghapus jejak sebelumnya.

"Kau menangis?" tanya Kak Jisung memastikan, kelihatannya ia juga hampir menangis. "Sebahagia itu?"

Bongkahan es seolah-olah meluncur menuruni tenggorokanku, kemudian mendarat mulus di perut. Tubuhku membeku. Aku menunduk, kepingin teriak, Ya, aku bahagia! Saking bahagianya, aku bahkan berniat mengakhiri segalanya sebelum pintu terbuka. Kenyataan bahwa hidupku belum berakhir ditegaskan oleh kejutan ini, kejutan kecil yang ... biasa saja, sebetulnya. Kejutan yang semua orang juga pernah mengalaminya.

Namun, aku paham betul. Sore itu aku masih ingin hidup. Hari ulang tahun adalah satu hari di mana kau merasa spesial; diinginkan, diperhatikan, dan didoakan. Satu-satunya hari di mana akhirnya senyumku melengkung. Aku meniup lilinnya tanpa yakin apa yang kuharapkan dalam hati. Kami memotong kuenya dan makan bersama. Selain makan kue, Kak Jisung membuat makanan ringan lain yang rasanya asin (aku tidak ingat namanya). Benar-benar membahagiakan.

Aku juga mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih. Aku sayang Kak Jisung."

Detik itu juga aku dihantam perasaan bersalah, soalnya aku hampir tidak memberikan apa-apa pada hari ulang tahunnya. Kupikir ucapan selamat saja kadang-kadang terlontar dari mulutku jika ingat, artinya aku pun melupakan tanggal ulang tahun Kak Jisung. Ingatanku tidak pernah berkawan baik dengan angka-angka (dengan segala hal, lebih tepatnya).

Sejak dulu aku tidak pernah menghargai kasih sayangnya.

Aku hendak merana lagi, sebelum akhirnya Kak Jisung mengajakku ke luar. Ke tempat menyetak kenang-kenangan, katanya. Ternyata tempat itu adalah foto studio. Kenapa Kak Jisung sampai ingin difoto di sini? Padahal dia bisa menggunakan kamera ponselnya. Penampilanku juga tidak bagus-bagus amat untuk difoto. Karena kami sudah jauh-jauh datang ke sini, aku tak punya keberanian menolak. Setidaknya dengan menurut, aku telah menghargainya.

"Apakah tadi itu seharusnya aku bawa kuenya? Huh," Kak Jisung berceloteh, "tapi nanti bukan kejutan, ya? Aku kasih memo saja sebagai tanggal." Nada bicaranya selalu sebahagia itu, seolah tanpa beban. Ia lebih dulu masuk ke tempat pemotretan, lantas menyuruhku berdiri di sebelah kanannya. "Jangan lupa senyum," bisiknya.

Waktu itu aku masih bocah plus kekurangan gizi, jadi tinggi kami lumayan tercipta jarak. Aku merasa kecil sekaligus aman. Si fotografer bahkan mengoda kami: Kalian adik kakak yang manis. Jadilah keluarga bahagia. Aku tidak banyak mengingat detailnya, seperti apakah si fotografer berkumis atau tidak, tempatnya bagaimana, diisi apa saja, latar belakangnya apa, nama studionya apa. Aku sungguhan tidak ingat. Aku tidak memperhatikan.

Namun, yang pasti, begitu kamera ditekan dan kilatan cahayanya muncul, tangan kanan Kak Jisung menyentuh puncak kepalaku, lalu bibirku ditarik melengkung; hasilnya bukanlah senyum paksaan. Itu senyum polos khas bocah milikku.

Foto-foto berikutnya juga bagus. Kak Jisung menyetak semuanya dan potretan pertama dicetak sedikit besar lantas diberi bingkai, masing-masing punya satu. Kakakku sangat niat mengabadikan momen ini. Sekalian foto keluarga, dia bilang. Aku menurut dan menyimpannya di atas meja kamar, tapi karena aku tidak suka melihat wajah sendiri, sejak usia lima belas aku menaruhnya di laci alih-alih dipajang bersama foto-foto lain. Aku tidak melupakannya, kadang aku masih suka melihatnya meski kini semakin jarang.

Ketika aku menyaksikan diriku bersama Kak Jisung dalam sebuah potret, aku tidak akan baik-baik saja. Padahal itu momen membahagiakan, tetapi ... tubuhku selalu bereaksi berada dalam momen sebaliknya. Aku tidak sanggup melihat raut Kak Jisung yang sangat menyayangiku. Dia pasti berpikir kami sangat akrab tanpa menyadari retakan kecil tak kasatmata yang timbul.

Apakah hubungan kami akan tetap tak menentu? Jika sewaktu-waktu Kak Jisung pergi meninggalkanku duluan, apakah aku akan menyesal?

"Minhyun."

Aku pasti berhalusinasi. Sekarang, tidak akan ada yang memanggilku selembut itu.

"Minhyun!" Suara itu meninggi, seolah diteriakkan persis di depan telingaku. "Hei, Nak. Jangan melamun begitu. Semua akan baik-baik saja."

Mendadak kesadaranku pulih mendengar kalimat terakhir, hanya untuk mendapati diriku terduduk di brankar, linglung. "Apa? Di mana"─suaraku ragu-ragu, aku pun menyadari eksistensi yang sedari tadi menemaniku─"Kak Jaehwan?"

Kak Jaehwan memberiku seulas senyum sebelum berkata, "Tadi kau sempat pingsan. Untung saja tidak sampai terluka. Sementara itu Jisung ... ya ampun, tolong, jangan panik. Dia sedang dioperasi. Ini tengah malam. Aku yakin kakakmu akan baik-baik saja." Ia menepuk-nepuk bahuku. "Sekarang istirahat saja, oke? Dokter akan membawakan kabar baik. Minhyun, kau masih syok. Kau dengar aku?"

Operasi. Otakku seperti robot yang bereaksi pada setiap kata kunci tertentu. Kilas balik Ayah yang marah-marah dan memukul kepala Kak Jisung memakai alat penggorengan berkeliaran di mataku. Kau dengar itu, Minhyun? Kepalanya sampai harus dioperasi. Seketika seluruh tubuhku langsung gemetar, ruang di sekitarku seolah berputar hebat. Telingaku berdenging. Aku bahkan tidak sanggup mendengar suara Kak Jaehwan yang mencemaskanku.

Tidak mungkin aku harus kehilangan kesadaran lagi, terutama di depan orang baru seperti Kak Jaehwan. Jadi aku membenamkan wajah ke lututku yang ditekuk, menyembunyikan rasa takut serta menahan rasa sakit yang menusuk di kepala. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang