12 | wherever it is, insanity persists

31 10 0
                                    

Pukul setengah delapan malam. Apartemen teman Kak Jisung. Kami berjalan sekitar tiga puluh menit. Jika naik bus, barangkali sepuluh menit saja cukup lantaran jalurnya dari halte ke halte berikutnya.

Gedung apartemen itu tampak seperti tempat kelas menengah biasa. Ada dua gedung dan di tengahnya dihiasi taman. Kami masuk ke salah satu gedung, menaiki lantai tiga. Aku lebih banyak mengikuti dibanding memperhatikan sekeliling. Sampailah di depan sebuah pintu, Kak Jisung menekan bel kemudian terbuka dan kami disambut. Mereka sangat akrab, sampai-sampai masih di luar saja sudah mencerocos ke mana-mana. Begitu tersadar akan eksistensiku, akhirnya kami dipersilakan masuk.

Di dalam, beruntung furniturnya memang biasa. Aku tidak jadi merasa segan jikalau terlampau mewah. Level kami berbeda dan apabila sungguhan, hebat sekali Kak Jisung dapat berteman dengannya. Aku memilih duduk di kursi yang terletak pada sudut ruangan. Kudengar Kak Jisung berceloteh, "Apa-apaan ini? Kau sudah membereskan barang-barangmu?"

Lalu temannya menyengir lebar. "Tentu saja. Mana mungkin kubiarkan ada tamu yang seolah memasuki tempat sampah."

Mereka tertawa, tapi tidak denganku. Aku tidak mengerti selera humor anak-anak kuliahan, atau barangkali sejak awal aku yang tak punya selera humor.

"Oke, jadi ... Minhyun, ya?" Akhirnya dia menyapa dan memperkenalkan diri. Namanya Kak Jaehwan, wajahnya terlalu ramah dan silau─maksudku, aura semangat hidupnya yang membara menyilaukan. Dia tidak menunjukkan gurat kelelahan atau kehampaan, melainkan seolah menganggap hidup itu tanpa beban dan penuh kejutan. Bukannya membantu, dekat-dekat dengannya bisa jadi bahaya untukku.

Orang-orang seperti Kak Jaehwan ... kadang kala membuatku iri, sekaligus muak.

Aku pun digiring ke ruang tengah, di mana terdapat televisi, sofa yang nyaman, dan tengah-tengahnya menyisakan lahan kosong sehingga dapat duduk di lantai berbalut karpet. Syukurlah aku tak kejang atau apa lantaran orang asingnya cuma satu. Kak Jaehwan menyalakan televisi dan menyuruhku menonton acara yang kuinginkan, tetapi berakhir dia yang memilih. Di sini hanya ada kami bertiga. Kak Jaehwan tinggal sendirian, tanpa orang tuanya. Itu beruntung sekali. Aku tidak tahu ke mana Kak Jisung, soalnya fokusku teralihkan oleh isi televisi yang disusul beragam pertanyaan.

"Bagaimana sekolahmu?"

Kujawab, "Biasa saja."

"Sudah memikirkan hendak melanjutkan ke mana?"

Kujawab, "Belum tahu."

Lantas, Kak Jaehwan berlagak memberikan wejangan dari senior untuk juniornya. Blablabla, sekolah memang penting jadi jangan menyerah dan berhenti. Blablabla, sekalipun kau gagal di ujian masuk perguruan, tetaplah belajar dan mencoba. Blablabla, kau bisa melangkahi Kak Jisung. Blablabla, meskipun begitu jangan terbebani karena di dunia ini tak melulu soal pendidikan.

Namun tetap saja, semua terdengar seperti: Minhyun, kau harus memikirkan masa depanmu.

Ada begitu banyak petuah mengenai hal tersebut yang kudapat dari guru, orang, artikel, dan keseluruhannya tidak menggerakkan hatiku. Mereka menganggap masa depan sebagai perjalanan yang perlu dilewati. Kejutan apa di baliknya? Kali ini berhasil atau gagal? Akankah lebih baik? Bagiku mereka cuma terbuai angan.

Berikutnya ada pertanyaan tak terduga. "Apa yang selalu Minhyun pikirkan?"

Mendadak aku memincingkan mata, menaruh curiga. Tidak ada orang yang baru pertama bertemu langsung bertanya ini dan itu, terutama topik-topik privasi. Atau barangkali memang demikian, akunya saja yang tak terbiasa. Atau bisa juga tergantung, dan kepribadian Kak Jaehwan ekstrover akut yang menebas obrolan apa saja.

Kutatap matanya sebentar. Aku menyerah. "Entahlah, bagaimana aku harus menjawabnya."

"Oke, santai," kekehnya, mengalihkan pandangan. "Katakan jika pertanyaanku mengganggumu. Atau adakah yang ingin Minhyun tanyakan?"

Sebetulnya banyak dan tertimbun jelas di kepalaku: bagaimana kau dan kakakku saling kenal, sudah berapa lama, menurutmu kakakku orangnya seperti apa, mengapa kau mau berteman dengan kakakku, apakah kami mengganggu, apakah kau tahu alasan kami menginap, jika ya artinya mengetahui sifat ayah kami kan, apakah aku aneh, apakah kami aneh, bagaimana kau bisa menjadi pribadi yang menikmati kehidupan. Alih-alih, yang kukatakan cuma, "Belum ada." Jadi daftar pertanyaan yang tadi itu percuma.

Kak Jisung bergabung bersama kami sembari membawa pisin berisi apel dan pir. Tidak ada makan malam, sebagai gantinya kami menyantap buah-buahan. Padahal tuan rumahnya bukan kakakku, tetapi dia yang menyediakan─seolah apartemen Kak Jaehwan juga miliknya lalu dapat seenaknya diotak-atik─dan tuan rumah asli tak keberatan. Nah, aku tidak mengerti pertemanan macam apa mereka. Sejauh ini, aku memang belum pernah bertemu teman-teman kakakku.

Tak perlu berkelana jauh, ternyata lewat Kak Jisung aku bisa belajar caranya bersosialisasi.

Kami mengobrol, makan buah, nonton televisi, main kartu remi, membahas beberapa isu, dan rasanya seperti keluarga baru. Meskipun kami menghabiskan waktu sampai larut malam, aku lebih banyak menyahut secara irit suara. Aku melupakan Ayah dan masalah-masalahku, terutama luka pada kepala yang dijadikan alasan kemari. Sesekali rehat yang seperti ini memang dibutuhkan. Aku tidak berbohong jika malam ini menyenangkan, tapi seiring gelapnya langit, kusadari semuanya bakalan berubah dalam sekejap.

Pukul 11.10 malam, aku berkata sudah lelah dan ingin tidur sekarang. Lalu Kak Jaehwan bilang aku boleh menggunakan kamarnya. Aku tanya, bagaimana dengan mereka berdua, dan dia jawab tidak apa-apa. Mereka bisa tidur di ruang tengah (oh seharusnya kami bertiga tidur di sana). Aku tak sempat merasa tak enak hati, soalnya kadang kala keegoisanku lebih menyebar ke seluruh pikiran.

Di kamar Kak Jaehwan, aku langsung mengunci pintunya, mematikan lampu, dan mengempaskan diri ke kasur. Bagian ini pun aku tak tertarik menelaah seperti apa kamarnya. Peduli setan. Yang terpenting, secepatnya aku perlu tidur sebelum kekuatan dari ketidakwarasan semakin menjadi.

Barangkali terlambat. Tengkorakku dihantam palu, berputar-putar, mengakibatkan retakan. Lalu otakku meleleh dan hendak merangsek keluar. Ribuan mikrofon bersuara mendadak ditujukan padaku, mereka bilang, "Bagaimana rasanya membebani seseorang?"

Tidak ada yang lain. Pertanyaan tersebut terus-menerus disuarakan dan berbarengan, seperti grup paduan suara mikrofon.

Aku mual. Aku hampir muntah darah.

Ini kejadian biasa, bukan sesuatu yang patut dicemaskan.

Aku tidak butuh obat atau pertolongan.

Aku akan baik-baik saja.

Soalnya semua itu cuma ada di kepalaku, sekalipun rasa sakitnya sangat terasa. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang