18 | well, he's going to 50:50 like and hate that class

30 10 0
                                    

Entah bagaimana caranya, di ruang guru Tuan Park mengatakan aku telah didaftarkan ke kelas konseling bersama Tuan Yong sebagai konselorku. Setiap Rabu dan Sabtu sepulang sekolah, aku harus menghadiri kelasnya. Kerjaan buang-buang waktuku bertambah. Tiba-tiba aku teringat Nona Cho dan obrolan kami tempo hari di unit kesehatan. Jadi, ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Aku ingin menolak," ujarku selembut mungkin. "Siapa yang mendaftarkanku ke sana?"

"Apa kau tidak tahu ada dua cara? Yakni oleh pihak sekolah itu sendiri atau atas persetujuan wali murid," jelasnya. Aku pun berkeringat dingin. Seingatku Nona Cho bilang ia membahasnya dengan Kak Jisung. Bisa jadi atas hasutan Nona Cho, kakakku menyetujuinya. "Salah seorang pihak kami yang mendaftarkanmu. Saya yakin dia memergokimu sesuatu. Apa pun itu, cobalah datang dan bicarakan masalahmu."

Selesai. Tuan Park menyuruhku kembali ke kelas tanpa mempersilakan sebuah argumen penolakan meluncur. Aku tidak suka ini. Mengapa orang-orang selalu memaksakan kehendak mereka? Memangnya mereka peduli? Katakanlah, aku menghadiri kelas itu, ditanya macam-macam namun tak menjawab, lalu apa? Tuan Yong tetap menemaniku sampai aku bersedia membuka diri? Memangnya semudah itu?Katakanlah hal tersebut terjadi, apa sesuatu bakalan berubah? Demi Tuhan, tidak.

Sekalipun Nona Cho pelakunya, kecurigaanku pada Kak Jisung tidak hilang.

Aku berjalan arogan menuju kelas, sama sekali tak tertarik menginjakkan kaki ke kafetaria. Di sana sakit kepala dan rasa mualku bakalan kambuh. Terlalu banyak orang, aku hanya akan merasa terintimidasi oleh tatapan mereka. Menjelang akhir tahun pertama di SMA Kyori, kebiasaan ini baru muncul. Kadang-kadang aku membawa bekal dan memakannya sendirian di kelas. Jadi setiap aku tidak membawa bekal kubiarkan perutku tak terisi sampai pulang nanti. Bahkan aku enggan turun untuk sekadar membeli camilan. Saking seringnya tidak makan tubuhku pun kurus dan tak berenergi, otakku juga sulit berkonsentrasi terhadap pelajaran.

Ini bagian dari merusak diri secara perlahan.

Alasanku menghindari kafetaria tidak sesederhana itu. Jika di kelas Wonwoo-lah yang mengambil alih, maka di luar kelas Seungwoo-lah orangnya. Jujur saja, bajingan itu lebih mengerikan sebab tak mempedulikan reputasi. Aku punya pengalaman buruk terkait makanan yang kumakan di kafetaria sedari SMP, dan aku tidak ingin membicarakannya, apalagi bernostalgia. Meski sudah membawa bekal, kadang kala aku masih sering diseret paksa. Jadi tempat terkutuk tersebut berada di daftar teratas yang mesti kuhindari di sekolah.

Di tangga menuju lantai tiga, aku bertemu Daniel yang langsung tak jadi turun dan memilih bersisian denganku. Pasti dia kesepian sekali. "Kudengar kau sering diganggu oleh mereka."

Mereka yang dimaksud pastilah mereka yang kemarin berbuat onar. Aku tak peduli dia mendengarnya dari mana. "Apa selama satu minggu ini kau menyaksikan aku dirisak atau semacamnya?"

Sontak Daniel menggeleng. Aku tersenyum puas dan melangkah mendahuluinya, kemudian ia melanjutkan, "Jika tidak, mengapa kau tampak begitu kesepian dan mengungsikan diri? Selain itu matamu terlalu jujur. Kau ketakutan menatap mereka."

Tidak. Aku tak perlu merasa tersinggung ataupun marah. Hasil pengamatannya lumayan akurat. Meski demikian, itu bukanlah senjata ampuh untuk merobohkan dinding tinggiku. Memangnya tahu apa dia soal Yeon Minhyun? Jangan bersimpati padaku. Dikasihani orang lain rasanya lebih menyedihkan.

Sepanjang sisa jam sekolah hari itu, untuk pertama kalinya aku memilih fokus memperhatikan pelajaran dan mengabaikan Daniel.

⊹⊹⊹

Tibalah saatnya aku debut sebagai siswa baru di kelas konseling. Ruangannya kecil tapi nyaman, bernuansa biru pucat yang ditata rapi. Tuan Yong menyambut kedatanganku, mempersilakan duduk di depannya, dan memberikan segelas air putih. Usianya sekitar tiga puluh tahunan, perawakan tinggi dan berotot, berdada bidang, wajahnya pun ramah. Tipikal pria sejati. Kelas konseling kedengarannya seperti beberapa siswa yang membutuhkan bimbingan dimasukkan bersama, nyatanya tidaklah demikian. Ini kelas privat, yang seharusnya lebih akrab disebut bimbingan konseling. SMA Kyori senang mengganti nama program supaya tampak mewah.

LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang