11 | decide out of his zone

33 11 0
                                    

Siang menuju sore, di unit kesehatan sekolah, aku terbangun. Satu-satunya alasanku berada di sini terkesan abu-abu. Pikiranku linglung; menari-nari tak karuan seolah baru saja terlahir sebagai sosok lain yang bertolak belakang dengan Minhyun asli. Mataku mengerjap lambat. Ada yang mengganjal bagian belakang kepalaku sebelum menimpa bantal. Begitu aku mencoba untuk duduk, terdengar bunyi roda kursi kantor yang berputar. Di balik tirai putih yang menutupi sedikit, sewaktu duduk aku mampu melihat meja yang menghadap pintu masuk dan seorang wanita muda berbalut jas putih di sana─kini menengok padaku.

Aku tidak tahu siapa dia soalnya jarang bertemu, barangkali perawat, guru kesehatan, atau siapalah.

"Luka di kepalamu tak separah yang dibayangkan." Ia melontarkan kalimat pertamanya padaku. "Untungnya tidak membentur titik fatal sehingga bisa ditangani. Besok tak perlu ke sekolah, kau harus istirahat di rumah. Kami sudah memberi kabar pada walimu. Nanti kalau ada gejala tak mengenakkan, segera temui dokter," pesannya.

Sesaat, kejadian tadi yang menuntunku kemari memenuhi indera penglihatan yang diputar sekilas. Itu cukup membuatku kembali jadi Minhyun asli. Gila. Aku baru saja ditolong dari situasi maut perundungan untuk pertama kalinya. Jika saja timingnya bukan di kelas, aku ragu seseorang bakalan menolongku─atau lebih tepatnya korban yang lain.

Aku bertanya, "Bagaimana dengan Daniel?"

"Oh, maksudmu murid yang satunya?" ulang si Nona Perawat memastikan. "Dia sempat dirawat di sini, namun langsung pulang begitu selesai. Untuk murid-murid bandel yang memulai kekacauan, mereka mendapat skors satu minggu. Parah ya, bisa-bisanya anak muda zaman sekarang melakukan hal mengerikan." Ia menggelengkan kepala, tanda tak menoleransi aksi tersebut.

Alih-alih menyahut, aku menyunggingkan senyum. Nona Perawat belum tahu mereka berkali-kali lipat lebih mengerikan, yang bahkan tak pantas disebut manusia. Bagian belakang kepalaku rasanya masih sakit luar biasa, tapi aku menahannya sekuat yang kubisa. Lagi pula aku tak ingin repot-repot pergi ke dokter. Kasihan Kak Jisung. Masalahnya Nona Perawat bilang sudah memberi kabar pada wali, artinya kakakku mengetahui apa yang terjadi.

"Aku akan menelepon walimu supaya menjemput," tutur si Nona Perawat lagi. Tadinya aku panik dan ingin melarang, namun ia sudah berbalik, menempelkan gagang telepon ke telinga, menunggu sebentar, kemudian terhubung dan berbicara dengan Kak Jisung. Sesudah mematikan panggilan, ia menambahkan, "Kakakmu sempat datang kemari walau sebentar. Dan ... kau tahu, kami bicara soal luka di tanganmu." Suaranya amat lirih.

Nah, oke, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Mengesalkan ketika rahasiamu baru saja dikuak oleh orang lain, bahkan bisa disebut pihak luar. Aku sudah tak mampu berkilah. Ke depannya, kurasa Nona Perawat ini bakalan membantu atau memberikan dukungan psikologis yang─tolong, demi apa pun aku tak membutuhkannya! Aku tak ingin dikasihani, terlihat lemah, atau dipandang sebagai sosok yang tak mampu menjalani kehidupan. Tak ada gunanya mengkhawatirkan orang sepertiku. Barangkali sebentar lagi eksistensiku betulan menghilang, lantas mengapa?

"Kalau kau perlu─"

"Bantuan, ceritakan pada orang lain. Begitu?" Aku turun menginjak lantai yang dingin. Di meja sampingnya sudah ada tasku sehingga aku tak perlu naik ke atas. Aku mengambilnya dan melangkah menuju pintu keluar.

"Kurang lebih," jelas Nona Perawat, yang kini kutahu namanya Cho Soorin lewat name tag. "Atau kalau kau butuh kelas konseling, aku bisa mendaftarkanmu. Setidaknya, berusahalah keluar dari perasaan itu dan tetaplah hidup."

Ini dia, petuah yang dirancang untuk menyentuh hati; yang memiliki frasa 'kau tak sendirian' sungguh tak kumengerti. Kelas konseling termasuk dalam sepuluh daftar teratas hal yang paling ingin kuhindari. Mereka tidak salah, namun mencoba memahamiku-lah yang salah. Seharusnya aku mengangguk dan berterima kasih sudah merawat lukaku atau berkenan menyemangati. Alih-alih, aku malah melenggang pergi bersama tatapan kosong.

LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang