27 | tell me why

11 9 0
                                    

Potongan ingatan kilas balik itu berjalan begitu lambat, seolah memintaku terus menghapal tiap inci detail kesalahan besar itu. Tentu saja aku menganggapnya sebagai kesalahanku, menjaga adik sendiri saja tak becus. Bagaimana mungkin aku lupa? Aku kerap menyimpannya seorang diri, tidak pernah kuceritakan pada siapa pun sebab aku tidak bisa. Setiap melihat adikku yang tampak hampa dan tidak bahagia, aku tersiksa.

Apakah aku telah gagal menjadi seorang kakak?

Apakah aku telah gagal membesarkannya? Lihat, dia bahkan tidak memikirkan masa depan.

Atau, ini salah Minhyun sendiri yang menyerah pada masalah-masalahnya? Pada masa lalunya dan ketakutannya?

Yang menjadi salahku, lantaran tidak menuntunnya supaya bangkit.

Haha. Bukankah aku sudah mengerahkan seluruh yang kupunya? Aku merasa sudah melakukan yang terbaik, tapi itu saja tidak cukup. Selama ini, meskipun telah berkorban banyak, aku tetap menemukan kebahagiaanku. Bersama teman-teman. Dunia kuliah. Pengalaman kerja yang belum seberapa. Bahkan ketika pulang menemui adikku. Menyaksikannya makan di hadapanku, masuk kamarnya, dan pergi sekolah. Meskipun tidak banyak bicara, meskipun aku ingin dia terbuka, kehadirannya saja sudah cukup bagiku.

Sudah cukup untuk menjelaskan mengapa aku bekerja begitu keras, mengapa aku bertahan, mengapa aku menguatkan hati, semata-mata hanya untuk adikku. Satu-satunya keluargaku yang tersisa. Perasaan cinta ini tidak boleh sirna. Aku kan sudah berjanji.

Namun tidak ada gunanya berbohong. Aku lelah, lelah sekali. Kadang aku ingin melepas tanggung jawab ini, toh dia sudah mulai dewasa. Dia harus memikirkan dan menata sendiri hidupnya. Apakah aku harus menyerah? Membiarkan Minhyun semakin terpuruk? Tidak. Aku tidak bisa menjadi egois dan menutup mata seolah itu bukan urusanku, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dia membutuhkanku, karena itu bangunlah, dasar bodoh.

⊹⊹⊹

Keheningan merayapi. Semuanya tampak berkabut, gelap sekaligus dihias putih. Aku mendengar gemuruh napasku sendiri, merasakan jantungku berdegup tenang, dan meski begitu sesuatu terasa berat, tepat di kepalaku atau barangkali menimpa tubuhku. Kebanyakan mengenang masa lalu? Mimpi belaka? Untuk waktu yang cukup lama aku tidak bergerak, tidak berkedip, hanya menatap lurus ke langit-langit ruangan yang hitam putih.

Langit-langit ruangan. Aku berada di suatu tempat. Perlahan kesadaranku pulih, tetapi aku tidak bisa bangkit. Menoleh sedikit saja, dunia di sekitarku seolah berputar kencang. Maka aku diam. Menunggu. Diam. Melamun. Tetap menunggu, sampai seorang perawat menyadari aku telah sadar lalu memanggilkan dokter untuk memeriksaku.

Ah. Perawat. Dokter. Jadi ini di rumah sakit.

Dokter bertanya macam-macam, aku menjawab semampuku. Sebetulnya tidak sulit walau aku berpikir agak lama dan berbicara lambat karena lidahku terasa kelu.

"Apa kau mengenali siapa keluargamu?"

Pertanyaan ini membuat ketumpulan indraku mendadak sirna. Aku ingat malam itu; Bonhwa yang sinting memukul kami dan aku tengah melindungi Minhyun. Inilah penyebab mengapa aku berada di sini. "Minhyun," kataku, lebih terdengar seperti memanggil, "adikku. Di mana dia? Apa dia baik-baik saja?"

Dokter menjawab Minhyun pingsan di hari pertama kami dilarikan ke rumah sakit. Lalu dia sadar tak lama kemudian dan pergi bersama temanku, Jaehwan. Setelah itu Minhyun tidak pernah kelihatan mengunjungiku selama empat hari ini, hanya Jaehwan saja. Aku merasa lega sekaligus kecewa. Lega karena pastinya Minhyun bersama Jaehwan. Kecewa karena ... Minhyun tidak menemaniku. Apakah ia panik, merasa bersalah, dan tak mampu melihatku? Aku ingin segera memeluknya, berbisik lirih tak ada yang perlu dicemaskan.

Dokter lalu meninggalkanku setelah semua pemeriksaannya beres, menyuruhku istirahat dan makan. Aku sempat tertidur sebentar, lumayan menghilangkan sengatan pusing dan beban berat, sebelum akhirnya makan pelan-pelan dari nampan yang diletakkan perawat di nakas samping tempat tidur. Aku tidak kesulitan menggerakkan jariku dan mengunyah. Tidak ada kabut dalam pandanganku, tidak ada hitam putih yang kentara. Kurasa tubuhku sudah selangkah beroperasi sebagaimana mestinya.

Pukul dua siang, Jaehwan mengunjungiku. Sayangnya dia tidak bersama Minhyun. Ke mana anak itu?

"Ya, Tuhan, ya, Tuhan," ratapnya begitu masuk kamar rawat, "terima kasih, astaga. Kau sudah siuman." Jaehwan memberiku pelukan erat, kentara sekali selama empat hari kekhawatirannya memuncak. "Syukurlah, bagaimana kondisimu?" tanyanya setelah melepas pelukannya dan duduk di kursi.

Kukatakan saja apa yang kudengar dari dokter dan kurasakan. Untuk menghiburnya, aku menambahkan kondisiku sudah jauh lebih baik dari pertama kali siuman. Jaehwan termenung lama sekali, entah merasa lega atau ada hal lain yang dikhawatirkannya. Namun kutahu ia tengah gelisah. Jaehwan selalu seperti itu.

"Ada apa?" tanyaku spontan. "Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku? Oh, benar, Minhyun masih sekolah, ya?"

"Ya," sahut Jaehwan cepat, terdengar ragu. "Nanti aku akan menjemputnya."

Hubungan antar manusia itu rumit, tetapi jika kau mengenal seseorang selama bertahun-tahun lamanya dan begitu dekat, menjadi soulmate sejati, kau nyaris mengenal segala hal tentangnya luar dalam. Kau tahu bagaimana reaksinya ketika senang dan dilanda kesedihan. Kau hapal betul nada candaan beserta leluconnya yang garing. Kau akan terbiasa dengan sikap dan sifatnya karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Terutama, kau akan sadar ketika dia membohongimu.

Aku menatapnya lekat-lekat, berusaha membuatnya merasa bersalah telah menyembunyikan sesuatu. "Itu tidak benar. Katakan, di mana Minhyun?"

Akhirnya, Jaehwan memang tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang panik. Ia balas menatapku sedih, tetapi mulutnya tetap bungkam. Jaehwan tidak berani mengatakannya padaku, artinya itu sesuatu yang buruk.

Apakah ini sesuatu yang aku pikirkan? Lebih tepatnya apa?

Aku menarik kaus bagian atas yang dikenakan Jaehwan, mencari kebenaran di balik bola matanya. "Katakan, di mana Minhyun?!" tanyaku lagi, nyaris berteriak. "Di mana dia, Jaehwan? Di mana adikku?"

Jaehwan menahan air matanya supaya tidak terbit. "Maafkan aku," lirihnya. "Maafkan aku ...."

Sesuatu yang aku pikirkan adalah ini: "Dia ... bunuh diri?"

Sungguh, aku bahkan tidak ingin melontarkannya.

Jaehwan kembali membisu, maka kulanjutkan, "Begitukah? Dia sudah ...."

Tangisanku pecah sebelum dapat menyelesaikan kalimat itu. Cengkeramanku terlepas. Pada akhirnya hal ini memang terjadi─

Jaehwan segera menjelaskan, "Tidak, tidak. Dia menghilang, bukan bunuh diri ... tapi ada kemungkinan dia memang bunuh diri dan belum ditemukan ... maafkan aku."

Seluruh badanku mendadak lemas lagi. Aku ingin meninggalkan rumah sakit dan mencarinya, tapi tenagaku yang hanya sedikit langsung terkuras habis. Sementara Jaehwan terus meminta maaf, aku hanya menangis dalam keheningan. Bukannya aku jahat dan marah padanya, itu bukan salah Jaehwan. Aku hanya tidak tahu harus merespons apa. Dadaku sesak. Segalanya kacau. Sedari dulu pertanyaan ini selalu muncul di kepalaku setiap melihat atau mengingat adikku, tapi tentu saja tidak pernah sampai kepada yang dituju, hanya mendekam di kepala.

Aku mendedikasikan separuh hidupku kepadanya, dan inilah balasan yang kudapat.

"Kenapa kau begitu tega kepadaku, Minhyun? Kenapa?" []

"Kenapa kau begitu tega kepadaku, Minhyun? Kenapa?" []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang