Happy reading
°
°
°Pagi itu, di sepanjang perjalanan menuju ke kota kelahirannya, Nathan terus saja terpikirkan oleh Sofia. Semua keluarganya sudah mengetahui kabar tentang kematian ibunya, kecuali Sofia.
Tidak ada yang berani memberitahu Sofia, mereka semua menunggu Nathan untuk menyampaikan kabar duka itu kepada adiknya sendiri.
Jika sayangnya Nathan kepada ibunya saja begitu, apalagi Sofia. Mungkin dunianya akan hancur setelah ini, dan Nathan harus siap menghadapinya. Sofia itu sangat menyayangi ibunya lebih dari apa pun yang ada di dunia ini, jadi tidak terbayangkan bagaimana reaksinya ketika mengetahui bahwa orang yang dia sayang itu telah tiada.
Nathan tidak lagi menangis, sudah cukup kemarin saja ia menangis, kali ini tidak lagi. Mau ia menangis sampai mati pun, ibunya tidak akan bangun lagi.
Tepat di depan rumah neneknya, mobil jenazah itu berhenti. Di sana sudah ada nenek, kakek, paman, dan bibinya yang sudah menunggu dengan wajah yang penuh air mata.
Nathan dengan cepat turun dari mobilnya dan langsung memeluk bibinya itu.
"Bi.. mama bi.. mama udah pergi.. dia ninggalin Nathan.." isak Nathan dalam pelukan sang bibi.
Nathan memang dekat sekali dengan bibinya, adik dari ibunya itu sangat mirip sekali dengan ibunya. Sejak kecil, Nathan dan bibinya adalah dua orang yang tidak bisa di pisahkan. Tapi semenjak ayah dan ibunya bercerai, Nathan terpaksa harus meninggalkan ibu dan bibinya ke Jakarta.
"Iya, kamu yang kuat ya.. kamu kan juga harus menguatkan Sofia.." ujar bibinya sambil mengusap pelan punggungnya Nathan.
Nathan melepaskan pelukannya dan mulai menghapus air matanya, "Sofia di mana bi?"
"Dia masih sekolah," jawab bibinya.
Nenek yang sedari tadi menangis itu kemudian mengeluarkan suaranya, "Jemput dulu adikmu, dia harus melihat ibunya untuk yang terakhir kalinya.."
Nathan diam sejenak, kemudian ia mulai berpikir bagaimana caranya memberitahukan Sofia nanti? Sofia tentu saja sudah pasti akan sedih. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin juga di sembunyikan.
Semuanya sudah masuk ke dalam rumah, kini tinggal Nathan seorang diri.
Lalu tak lama itu, sebuah motor berhenti tepat di depan rumah neneknya Nathan. Itu Pujo. Kemarin, Pujo sudah kembali ke Palembang karena kondisi Lavina sudah agak membaik. Setelah mendengar kabar duka dari Nathan, Pujo langsung menyempatkan dirinya untuk pergi ke rumah neneknya Nathan, dan kebetulan saat ini Nathan sedang berdiri di luar rumah.
"Than, lo yang sabar ya. Gue turut berduka cita," ujar Pujo sembari memeluk singkat temannya itu.
Nathan mengangguk pelan, "Gue boleh minjem motor lo nggak? Mau jemput Sofia."
Pujo tentu saja langsung mengangguk dan memberikan kunci motornya kepada Nathan. Nathan tidak membawa motornya, dia kan tadi ikut naik mobil jenazah.
Lalu Nathan dengan segera pergi dari sana, sedangkan Pujo juga sudah masuk ke dalam rumah neneknya Nathan untuk berbelasungkawa.
Jalanan yang Nathan lewati itu ternyata masih sama seperti terakhir kali ia melewatinya, waktu ia masih mengantarkan Sofia ke sekolah. Bedanya, kini jalanan itu semakin padat dengan kendaraan yang lewat maupun pedagang kaki lima yang berjualan di pinggiran jalan.
Nathan rindu dengan kota kelahirannya ini, sebabnya Jakarta tak memberikan alasan untuknya bahagia, apalagi Jakarta telah merenggut nyawa ibunya kemarin. Hanya satu hal yang membuatnya bahagia karena Jakarta, yaitu di pertemukan dengan Saskia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terimakasih, Nathan
Teen FictionNathan itu cuek, tapi sebenarnya peduli. Nathan itu kuat, tapi sebenarnya lemah. Nathan itu baik-baik saja, tapi sebenarnya rapuh. "Kak, sampai kapan mau pura-pura terus?" "Sampai semua rasa ini hilang, dan gue bener-bener mati rasa." ©Fad [Rank 1...