Hadiah Ulang Tahun

4 0 0
                                    

waktu berjalan dengan sangat cepatnya, begitupun kisahku dengan Wisaka yang terus menyiratkan tanda kebahagiaan, tanpa status hubungan yang jelas saat ini bersama Wisaka sudah cukup membuatku seperti memetik seluruh bunga-bunga indah di dunia ini.

Wisaka selalu punya rencana-rencana indah ataupun kejutan di setiap hari Senin tiba, seperti beberapa pekan lalu, aku dikejutkan dengan banyaknya tulip sebagai bunga kesukaanku yang dia bawakan dengan boneka berbentuk teddy bear.

Sepulang sekolah aku langsung menaiki angkutan umum yang biasa aku tumpangi untuk pergi ke perpustakaan, setibanya disana setelah megganti pakaian aku merapikan beberapa buku-buku pelajaran seperti biologi, fisika, kimia, geografi dan banyak buku sejarah yang bisa kubaca sekaligus bekerja ditempat ini.

Saat diriku disibukkan dengan duniaku sendiri, aku beberapa kali mengecheck handphone berharap bahwa Wisaka akan menghubungiku seperti biasanya, entah dia selalu menyuruhku menunggu di gerbang untuk membawakan bekal, beberapa saat dia juga yang lebih sering menunggu di depan gerbang perpustakaan ini daripada diriku, menungguku hingga waktu bekerjaku telah usai, lalu mengajakku berkeliling kota ataupun makan angkringan kesukaan kami, lalu pulangnya dia pasti menyempatkan mampir untuk membeli roti bakar kesukaanku.

Waktuku bekerja di perpustakaan hari ini sudah usai, aku buru-buru berpamitan pada kak Bagas selaku senior yang menjaga hampir dua puluh empat jam disini, bergegas menuju gerbang yang kuharap Wisaka sudah menopang tangan di depan dadanya dengan senyuman hangat yang mencairkan seluruh rasa lelahku, tapi kali ini di gerbang itu sepi, tak ada senyum Wisaka, bahkan handphoneku tak ada pertanda bahwa dirinya akan memberiku kabar.

Didepan gerbang kak Bagas mengejutkan lamunanku, "Kaluna, kok buku kamus-kamus berantakan banget ya?" "hah masa sih kak, aku juga engga ngecheck kesana sih" "lo bisa bantuin gue bentar buat rapihin tuh kamus engga?" "boleh-boleh".

"lo check kesana ya! gue mau ambil beberapa kamus baru di gudang" "siap kak" aku memasuki lorong-lorong menuju rak khusus kamus-kamus, dan setibanya di lorong tersebut bukan sekumpulan kamus berantakan yang aku ketemui, akan tetapi kak Wisaka dengan boneka teddy bear besar yang menutupi tubuhnya, aku berhamburan kepelukannya, belum sampai di boneka teddy bear, kak Wisaka juga membawakanku bucket berisi banyak tulip dengan waran berbeda, "pasti udah kepedean nunggu aku didepan gerbang kan?" "kata siapa?" "kak Bagas" "ihhh kalian berdua sama-sama nyebelin" "habisan aku bingung pakai cara apa lagi" "emang engga capek apa mikirin cara untuk buat aku bahagia?" "loh kan namanya juga barter, kamu udah kasih aku kasih sayang jadi gantian aku kasih kamu kebahagiaan".

Aku senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana kejadian pekan lalu yang langsung disadarkan oleh teriakan ketua kelas untuk tugas piket "pagi-pagi udah senyum-senyum aja sih lun" "hahahaha emang kelihatan?" "siapa yang engga tahu lo dari sepuluh menit lalu senyum-senyum tanpa sebab yang kita engga tahu" "kepo aja hahaha" "ih awas yah lo, ayok cepet ke lapangan" Kahla dengan sebal langsung menarik tanganku untuk menuju ke lapangan.

Hari-hari menuju diriku berusia tujuh belas tahun terasa sangat menyenangkan, tujuh belas tahun jelas bukan umur yang mudah, bahkan akupun tahu bahwa di tujuh belas tahun ujian-ujian kehidupan akan semakin sulit untuk aku lalui.

Aku sudah tak lagi diantar jemput ayah karena beberapa pekan terakhir aku lebih suka naik angkutan umum ataupun pulang bersama Wisaka karena dia memaksaku padahal jarak rumah kami dan tujuannya pun tak sama, di halte bus aku bersama beberapa teman-temanku duduk di kursi panjang, seperti biasa sambil menunggu angkutan sampai kami selalu menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal.

Mataku tiba-tiba gelap tertutupi oleh tangan seseorang yang langsung kutahu itu tangan Wisaka, "engga bisa sabar nunggu di depan gerbang ya? kamu tahu engga aku khawatir nyariin kamu ke kelas sampai ke parkiran, eh ternyata kamunya ada disini" Wisaka melihatku dengan wajah khawatir yang dapat kurasakan, belum sempat aku membalas ucapan Wisaka teman-temanku yang duduk disana langsung menyoraki aku "wahhh romantis banget dicariin" "gue kapan ya dicariin?" "jangan ngarep deh lo, mana mungkin kita bisa jadi Kaluna yang selalu dicariin pangerannya" setelah kata-kata mereka itu, pipiku langsung seketika menyemburatkan sirat merah muda yang semakin membuat teman-temanku tertawa, aku lalu langsung menarik tangan Wisaka untuk segera beralih dari sana.

Wisaka yang melihatku salah tingkah langsung mengambil botol minumnya dan memberikan kepadaku "nih minum dulu nonik, lagian ngapain sih sampai salah tingkah seperti itu?" "kamu menyebalkan" ucapku sambil melemparkan tinjuan kecil padanya. Dalam perjalanan pulang hujan menghadiahi sore kami, Wisaka menawarkanku untuk berhenti sejenak di kedai kopi sambil menunuggu hujan sedikit mereda, geluduk serta petir seakan menjadi satu kesatuan yang mengudara dilangit.

Tak seperti kebanyakan orang, aku lebih suka langit jingga serta bintang yang bertaburan di angkasa daripada hujan seperti saat ini, bagiku hujan selalu menyiratkan kesedihan yang bahkan telah melewati hidupku atau seperti air yang jatuh disaat-saat bahagia. Wisaka yang menyadari aku mulai ketakutan langsung mendekapku dalam pelukannya sembari menunggu kopi yang sudah kita pesan kepada barista tadi, "tenang aja ya? engga perlu ketakutan seperti itu, kamu aman sama aku" dia menatapku dengan ketulusan dimatanya, aku menyenderkan kepalaku pada bahu bidangnya itu, "supaya engga takut lagi sama suara geluduknya, pakai earphone aja ya? ada lagu kesukaanmu disana".

Wisaka selalu mengerti apa yang menjadi favoritku, bahkan hal sekecil tentang kopi kesukaan maupun lagu favoritku, bahkan dia tahu bagaimana sensitifnya aku terhadap makanan. Lagu tersebut membuatku memejamkan mata sejenak, mataku terpejam sekitar sepuluh menit, lalu seorang pelayan menyadarkanku dengan membawa kopi yang sudah kita pesan, "tujuh belas tahunmu, kamu ingin apa?" sambil menyeruput kopi yang masih sedikit panas, Wisaka menanyakan hal yang bahkan ku tak tahu menginginkan apa selain kebahagiaan saja didunia, "engga mau apa-apa, mau bahagia aja" dia mengeluarkan sesuatu dari backpack miliknya, "semoga kamu suka sama hadiah ulang tahun ini ya?" dia menyerahkan sebuah kotak dengan pita berwarna merah disana, "aku kan engga minta apa-apa Wisaka" "kan aku yang kasih bukan kamu yang minta" aku terkekeh disana, membalas elakannya memang tak menjadi hal yang kulakukan saat ini, karena dia sama sekali tak pernah mau mengalah, katanya "kalau untuk kebahagiaanmu, apa saja nonik, apa saja".

Tanganku membuka ikatan pita itu, melihat sebuah dua kertas yang ternyata ialah tiket konser. Kemarin Jovanka mengajakku untuk menonton konser dari group band ini, aku bahkan sudah tak sabar untuk menghadirinya, bahkan ketika memesan tiketnya sudah kubayangkan betapa asiknya aku berada disana, akan tetapi sebelum aku memejamkan mata, satu panggilan masuk dan Jovanka meneleponku bahwa tiket tersebut telah sould out hanya dalam hitungan menit, semua khayalanku luntur disana. Dan kini yang memberikan tiketnya adalah seseorang spesial dihidupku, aku tersenyum dan memeluknya berterimakasih karena dia selalu membuatku merasa menjadi tokoh disney dengan segala bahagianya.


"kok kamu bisa dapat tiket ini?" "hehehe aku mantau satu jam supaya engga kehabisan" "astaga, engga seperti itu juga kali Wisaka, lagipula tanpa tiket ini, kalau kamu yang nyanyi juga sudah berasa seperti konser" "mengejek ya kamu, kan kamu tahu suaraku engga bagus" "kata siapa? suaramu bagus, aku saja suka selalu mendengar suaramu lewat telepon", handphone ku tiba-tiba berdering, aku sejenak terkejut bahwa berpikir bunda yang meneleponku, dan ketika kulihat layar tersebut ternyata bukan bunda akan tetapi malaikat pemberi kejutan itu, siapa lagi jika bukan Wisaka "ih kamu apaansih, kita kan lagi bareng, ngapain telepon?" "katamu kamu suka mendengar suaraku lewat telefon" aku dan dirinya terkekeh menyaksikan hal yang kita lakukan berdua, bukan Wisaka jika ia tak pernah membuatku merasa beruntung karena memilikinya ditengah sulitnya bertahan hidup di alam raya.

MonologTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang