Bagian 23

138 27 2
                                    

Sofa panjang yang berada di ruang keluarga dijadikan tempat rebahan oleh Salsa, Bram duduk di kursi tunggal, sementara Safira di sofa satu lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sofa panjang yang berada di ruang keluarga dijadikan tempat rebahan oleh Salsa, Bram duduk di kursi tunggal, sementara Safira di sofa satu lagi. Gadis itu sedang membaca buku Sosiologi, besok ada ulangan harian saat pelajaran tersebut.

"Akhir-akhir ini kamu sering keluar malam, ngapain? Yakin kerja kelompok? Bukan keluyuran gak jelas, kan?"

Salsa yang semula fokus pada bacaannya itu langsung mengalihkan pandangan menatap Safira, ia meletakkan buku di atas perut, lalu menjawab, "Iya. Aku ke rumah Anjani, kok. Tanya aja sama mamanya." Tentu saja Salsa sudah menyusun rencana ini ketika orang tuanya curiga, gadis itu meminta tolong kepada mama Anjani agar bekerja sama.

Bram yang semula membaca modul bahan ajarnya untuk besok ikut menimbrung dalam obrolan tersebut. "Masa setiap minggu? Kamu udah kelas 12, loh, Sal. Udah di masa akhir putih abu-abu, mustahil banget banyak tugas kelompok. Dulu waktu masih kelas 10 dan 11 juga gak sepadat ini," beber pria itu.

"Enggak kerja kelompok juga, Pa. Kadang belajar bareng, Anjani sering nanya-nanya aku cara nyelesein soal dan aku pun biasanya pinjam buku dia," sanggah Salsa. Ia memang tidak sepenuhnya berbohong, keduanya memang lumayan sering belajar bersama sambil menunggu teman-teman yang lain datang.

"Kalau dia nanya-nanya terus, kapan kamu belajarnya? Lagi pula buku yang udah papa sama mama kasih masih kurang?" tanya Safira, terlihat sekali jika wanita itu tidak setuju dengan tindakan Salsa.

"Tapi menurut aku, Ma, waktu ngajarin orang entah itu Anjani atau teman-teman yang lain, aku lebih mudah ngingat pelajarannya terutama kalau yang ada rumus dan cara penyelesaian," jawab Salsa sambil membangunkan tubuhnya yang semula berbaring menjadi bersandar di sofa, "buku yang mama sama papa kasih cukup, kok, cuma kalau punya Anjani itu lebih ke edisi-edisi lama yang Salsa gak punya."

"Jangan ngebantah kamu! Orang tua bilangin itu didengar, diam aja gak perlu ngejawab," sergah wanita yang sedang memangku laptop berwarna hitam itu.

Tak lama setelah itu, Pak Ardi masuk ke ruang tengah. Pria yang sudah memakai baju kaos biasa tersebut langsung menghadap ke arah Bram. "Ada apa, Tuan?" tanyanya.

"Saya mau tanya, Salsa kalau keluar malam pergi ke mana, ya?" Bram bertanya tanpa basa-basi atau menyuruh Pak Ardi duduk, pria yang berstatus sebagai supir itu berdiri di samping sofa yang diduduki kepala keluarga tempatnya bekerja.

Ketika papanya bertanya hal tersebut, sontak Salsa menahan napas. Jujur saja ia takut semua ini akan terbongkar sekarang, gadis itu benar-benar belum siap. Masalah kemarin saja belum selesai, rasanya tidak mungkin ia sanggup diberikan kasus baru lagi.

"Ke rumah temannya, Tuan. Kalau gak salah namanya Anjani," jawab Pak Ardi.

Mendengar jawaban tersebut, Bram yang semula masih memegang modul langsung melepaskah buku tersebut. "Ngapain?" tanyanya lagi.

"Kalau soal itu saya kurang tahu, saya cuma nunggu di luar dan gak ikut masuk," ujar Pak Ardi.

Safira yang melihat itu ikut turun tangan, wanita tersebut menatap Pak Ardi dengan tajam dan mengancam, "Jangan bohong, Pak Ardi! Anda mau saya pecat dan tidak diberikan gaji? Saya tahu keluarga anda di kampung lagi kesusahan dan membutuhkan uang. Yakin masih mau menutupi kesalahan Salsa? Cari pekerjaan tetap dan uang sekarang susah, loh."

Tatapan mata Pak Ardi menatap lurus pada Salsa, gadis itu mengangguk samar tanda mengizinkan sang supir untuk buka suara. Jelas ia tak mau ada orang lain yang menanggung akibat dari perbuatannya sekarang, apalagi pria tua itu sedang membutuhkan uang.

Sejujurnya laki-laki tua itu juga tidak tega dan secara pribadi siap untuk dipecat karena tetap tutup mulut, tetapi kondisi keuangan keluarganya yang tidak stabil membuatnya harus bertahan dan memiliki pekerjaan tetap. Apalagi gaji yang diberikan sangat besar, Pak Ardi yakin tidak ada supir di keluarga lain yang mendapat nyaris dua juta perbulan.

"Maaf, Tuan, Nyonya. Saya benar-benar minta maaf karena sudah berbohong. Non Salsa memang ke rumah Anjani, ia bersama teman-temannya berkumpul di sana ketika ada kegiatan klub," ungkapnya.

Senyuman sinis tersungging di wajah Safira, wanita itu tampak puas mendengar jawaban tersebut. "Oke, terima kasih, Pak Ardi. Anda boleh kembali beristirahat, maaf menganggu waktunya," katanya.

Namun, Bram kembali bertanya, "Klub apa?" Tampaknya ia belum puas dengan penjelasan tadi. Apalagi Salsa sempat berbohong dan masih menutupi, tentu saja Bram tidak akan percaya begitu saja pada gadis itu jika ditanyai lagi.

"Kali ini saya tidak berbohong, Tuan. Saya tidak tahu klub apa, Non Salsa hanya memberitahukan itu saja," aku Pak Ardi sambil menatap Salsa dengan perasaan bersalah, "saya permisi."

Sebelum pergi, Salsa dapat melihat mulut Pak Ardi mengatakan, "Maaf, Non." Pria itu pasti merasa bersalah karena sudah membocorkan hal ini kepada majikannya. Sebagai balasan, ia memberikan senyum sekilas tanda bahwa dirinya tidak apa-apa.

Tubuh Bram memutar sepenuhnya menghadap ke arah Salsa, sementara sang pelaku menundukkan kepala karena sudah tertangkap basah. Ia tentu saja tidak bisa mengelak lagi, tak ada alasan logis untuk membantah. Gadis itu sudah pasrah jika harus diomeli dan dimarahi kedua orang tuanya.

"Klubnya buat belajar?" tanya Bram.

"Bukan, Pa," sahut Salsa pelan.

Kepala Bram menggeleng-geleng beberapa kali, lalu buku yang sempat diletakkannya tadi langsung dilempar ke arah Salsa. Gadis itu semakin menunduk takut, meskipun ia tahu buku tersebut tidak mungkin mengenainya karena jelas-jelas Bram membanting sedikit meleset dan sebagai ancaman saja.

"Buat apa, sih, Sal, ikut begituan? Kalau klubnya buat belajar terserah kamu, tapi ini cuma main-main doang. Mikir! Punya otak itu dipake buat mengasah kemampuan, bukan cuma jadi pajangan," murka Bram. Jari telunjuk laki-laki itu menunjuk otak beberapa kali untuk menegaskan bahwa ia harus berpikir.

"Salsa, Salsa. Mama gak habis pikir dengan kamu. Coba lihat kakak kamu dulu, dia ikut klub yang jelas tujuannya apa. Klub sains, jurnalis, PMR, bahkan debat juga pernah. Lah, kamu? Klub gak jelas tujuannya," tambah Safira dengan kembali membandingkan adik kakak itu.

"Gak berguna tahu gak!" bentak Bram.

Air mata Salsa langsung deras ketika mendengar bentakan dari Bram, gadis itu meraih bukunya dan segera berlari menuju lantai dua. Ingin sekali rasanya untuk membanting pintu sebagai pelampiasan, tetapi ia tidak mau memperpanjang masalah lagi.

"Apanya yang salah? Mama sama papa gak pernah mau dengerin cerita dan pendapat aku, sementara Kak Rachel sibuk dan jarang punya waktu luang sekadar buat telepon. Wajar kalau aku cari sesuatu yang bisa mendapatkan kedua hal tersebut."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Little Things [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang