Ketukan pintu kamarnya membuat gadis yang masih bergelung selimut di atas ranjang langsung tersadar, tetapi ia tidak segera bangun dan memilih kembali melanjutkan tidur. Tak peduli jika perutnya belum terisi apa pun dari pagi, bahkan jendela kamar saja gordennya masih dibiarkan terbuka.
Salsa merasa sudah tidak memiliki gairah hidup, hingga akhirnya dering telepon memecahkan keheningan di kamar yang banyak menyimpan aksesoris Doraemon itu. Deringan pertama tak diangkat, tetapi sepertinya si penelpon masih belum menyerah.
Tangan gadis berbaju kaos biru muda itu meraba nakas di samping tempat tidurnya, lalu melihat layar yang menampilkan foto Rey. Walaupun Salsa sempat ingin menceritakan kejadian berat hari ini, tetapi niat tersebut diurungkan agar kakak dari Fiona itu tidak mendapat masalah lagi.
"Maaf, Kak Rey. Aku gak mau nambah beban kakak dan buat khawatir. Nanti aja, ya, teleponnya. Aku butuh waktu sendiri," ucap Salsa dan langsung mematikan sambungan telepon mereka.
Suara ketukan pintu kembali terdengar, diikuti suara seseorang yang sangat Salsa kenali yang memanggil namanya. "Sal, keluar, yuk. Gak kangen sama kakak?" tanya Rachel dari balik pintu.
Gadis itu mencoba mengeraskan hati agar tidak termakan bujuk rayu dari Rachel, ia berharap kakaknya segera pergi dari depan kamar. Namun, alih-alih seperti yang diharapkan, hingga lima menit berlalu Rachel masih betah mengetuk pintu dan menyuruh Salsa keluar.
Kepala Salsa menggeleng beberapa kali, gadis itu mendudukkan diri terlebih dahulu sebelum berjalan menuju jendela. Langit malam tampak berbintang, pemandangan tersebut membuatnya sedikit merasa tenang. Jarang sekali ia mendapat situasi seperti ini.
Setelah puas, barulah Salsa menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia menghabiskan waktu setengah jam dengan berendam, lalu segera membilas dan memakai minyak kayu putih ke perut karena takut masuk angin. Kedua tangannya bertumpu di atas westafel, mata gadis itu melihat dirinya sendiri di kaca sambil bergumam, "Keluar gak, ya? Laper, tapi gak mau ketemu dulu sama orang rumah."
Namun, saat keluar dari kamar mandi Salsa dikejutkan dengan keberadaan Rachel yang duduk di meja belajarnya. Ia melihat ke arah pintu, ternyata dibuka dengan kunci cadangan. Padahal gadis itu sudah melarang tidak ada yang boleh masuk.
"Seharian di kamar, gak laper?" tanya Rachel, tetapi tak diacuhkan oleh Salsa.
Ia lebih memilih merapikan tempat tidur yang sangat berantakan dibanding meladeni Rachel, apalagi gadis itu tahu jika kakaknya tidak akan menyerah. Keterdiaman Salsa membuat Rachel mendekat dan memutar tubuh adiknya, mata mereka saling bertatapan sebelum Salsa membuang muka.
"Kakak udah ngomong sama papa dan mama, mereka ngerasa bersalah banget setelah kejadian tadi pagi. Kamu gak mau ketemu sama mereka? Kasian, loh. Bahkan, mama ikut gak makan karena mikirin kamu seharian ini," ungkap Rachel.
Mata Salsa kembali melihat ke arah Rachel, tapi setelahnya menatap ke arah jam dinding. Ternyata sudah pukul delapan malam. "Gak peduli. Aku gak nyuruh mama gitu, terserah dia mau ngelakuin apa pun," ketus Salsa.
"Sal, jangan kayak bocah gini, dong!" sergah Rachel dengan nada yang mulai meninggi.
"Kakak bilang aku bocah? Tapi apa pernah Kak Rachel ada di posisi aku? Dibandingin sama kakak, kesuksesan berpatok ke kakak, semua yang aku lakuin pasti harus kayak kakak. Apa pernah?" tanya Salsa, emosinya mulai terpancing ketika Rachel mengatainya seperti anak-anak.
Tangan gadis itu mencoba meraih jemari Salsa, tetapi langsung ditepis secara kasar. "Kakak gak bermaksud kayak gitu," ujar Rachel melembut, ia sepenuhnya sadar telah memancing keributan lagi.
"Halah, kalian itu cuma tahu ngomong doang!" pekik Salsa sambil mendudukkan dirinya di atas tempat tidur.
"Maaf, ya," sesal Rachel.
Entah kapan Bram dan Safira masuk ke dalam kamar Salsa, gadis itu terlalu fokus pada Rachel. "Salsa, maafin papa dan mama, ya. Kami janji gak akan nuntut lagi, kamu bebas ngelakuin sesuatu yang kamu suka," ujar Bram sambil berlutut di depan Salsa dan menggenggam tangan anak bungsunya.
"Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu aja begini? Apa karena kepulangan Kak Rachel dan kalian buat drama murahan kayak gini? Aku yakin setelah kakak pergi lagi kalian langsung berubah." Otak Salsa sudah tidak bisa berpikir dengan jernih, keberadaan ketiganya di sini membuat suasana semakin keruh. Namun, ia juga tak enak ingin mengusir mereka.
Safira ikut duduk di samping kiri Salsa, tiga orang itu mengelilingi gadis yang sedang tertunduk. "Enggak. Mama sama papa murni minta maaf sama kamu karena sadar apa yang kamu lakuin selama ini salah," bantah Safira.
"Maaf, ya, Sayang."
"Kamu bebas, Sal. Mulai hari ini kamu boleh nentuin apa yang kamu mau dan jalain hal yang kamu suka,"
Kepala Salsa langsung terangkat, ia menatap mata papanya. Seolah mendapat angin segar, gadis itu bertanya, "Apa boleh aku gak masuk kedokteran?" Ada binar penuh harapan di netra gadis berpiyama Giant itu.
"Kamu mau masuk apa?" tanya Safira melembut.
"Hukum," jawab Salsa sambil menatap mamanya.
Senyuman kecil terbentuk di wajah Bram, pria itu mengusap rambut Salsa dengan pelan. "Boleh. Nanti papa bilangin ke temen papa, ya," ujarnya.
Kepala Salsa menggeleng dengan cepat, cukup sekali ia gagal karena melakukan kecurangan. Walaupun dengan jalur orang dalam membuatnya tidak perlu susah payah kembali belajar untuk tes, gadis itu merasa lebih baik mengikuti rangkaian masuk ke perguruan tinggi dengan cara normal. "Enggak. Kali ini aku mau usaha sendiri, aku mau ikut tes SBMPTN," tolaknya.
"Tapi, Sal--"
"Mama gak percaya sama kemampuan aku?" tanya Salsa memotong ucapan Safira.
Embusan napas Safira terdengar berat, lalu wanita itu kembali berkata, "Mama percaya kamu."
"Makasih," ujar Salsa sambil tersenyum kecil, "aku minta maaf karena kurang ajar dan bersikap gak sopan sama kalian tadi pagi. Maaf kalau kata-kata yang aku ucapin kasar." Ada rasa menyesal karena sudah berteriak di depan kedua orang tuanya tadi pagi, gadis itu merasa sangat berdosa akibat hilang kontrol.
"Iya, Sayang. Gak apa-apa, kami ngerti. Maafin kami juga, ya," ucap Safira.
Rachel yang duduk di samping kanan Salsa sedari tadi memilih tidak bersuara, hanya tangannya yang menggenggam tangan si bungsu agar lebih tenang. "Nah, kalau gini, kan, adem," celetuk gadis itu.
"Aku boleh temenan lagi sama Kak Rey?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things [END]
Novela JuvenilKata orang, anak yang berbakti adalah anak yang menuruti perkataan dan perintah orang tua. Kata orang, anak adalah investasi. Kata orang, anak harus membalas jasa orang tua yang merawatnya dari kecil. Kisah ini hanya dari gadis biasa yang ingin hidu...