Pada jam istirahat ke dua, semua anggota klub yang didirikan oleh Salsa berkumpul di taman sekolah. Tadi malam Zifa tiba-tiba mengirim chat ke grup WhatsApp jika ada yang ingin dibicarakan. Gadis yang berstatus sebagai ketua itu sudah merasakan firasat buruk, tetapi ia mencoba untuk berpikir positif sampai ada kejelasan.
"Ada apa, Zifa?" tanya Salsa penasaran.
Sebelum membuka suara untuk menjawab pertanyaan dari Salsa, Zifa lebih dulu menatap satu per satu temannya. "Maafin gue, ya. Kayaknya gue gak bisa bertahan di klub ini," ungkap gadis itu.
"Lah, kenapa? Ada yang buat lo gak nyaman? Jadwalnya bentrok? Apa gimana?" tanya Rebecca beruntut.
"Enggak, enggak. Gue nyaman, kok, berteman sama kalian. Jadwalnya juga oke-oke aja. Cuma orang tua gue ngelarang ikut kegiatan ini. Maaf, Guys," jawab Zifa.
Semuanya langsung bungkam ketika mendengar alasan Zifa yang memutuskan untuk keluar, raut wajah mereka terlihat sendu karena harus melepas salah satu anggota klub. Terlebih bagi Salsa, ia harus segera mengambil keputusan yang membuat semuanya tidak tambah rumit.
"Gak apa-apa, Zif. Kamu juga gak mungkin bantah perkataan orang tua, tapi aku harap pertemanan kita masih tetap kayak gini. Mungkin kalau lagi ngumpul di rumah Anjani kamu gak ikutan, tapi kalau di sekolah gabung aja, ya. Satu lagi, aku harap kamu masih mau tetap berada di dalam grup chat," ujar Salsa bijak.
"Makasih, ya, Sal. Gue bener-bener beruntung bisa gabung sama kalian, gue janji gak akan keluar dari grup dan ikut ngumpul," balas Zifa. Gadis yang baru saja resmi keluar itu memeluk tubuh Salsa, posisi mereka memang bersebelahan sehingga memudahkan keduanya untuk saling berpelukan.
"Kok, gue sedih, ya," celetuk Selena sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Pelukan Salsa dan Zifa terlepas, kedua gadis itu dan yang lainnya tertawa melihat Selena menangis. Namun, semuanya mendadak diam ketika Liana angkat bicara.
"Gue juga gak bisa lanjut, alasannya sama kayak Zifa. Nyokap sama bokap bilang kalau gue gak boleh keluar malam, lagian sebentar lagi udah mau ujian. Jadi, disuruh fokus belajar," terang Liana sendu.
Detik itu pula, tangis Selena semakin kencang. Walaupun terkenal ganas dan galak, hatinya sangat lembut dan peduli dengan sesama. "Kenapa pada keluar, sih?" protes gadis itu.
"Gue juga. Akhir-akhir ini mama sama papa semakin sering berantem di rumah kalau gak ada gue, jadi gue harus tetap stay. Cukup sekali gue kecolongan sampai mama harus masuk rumah sakit karena dipukulin papa. Sebelumnya mama sama papa juga udah nyuruh gue keluar karena mereka berencana untuk pisah dan lagi merebutkan hak asuh gue, ada kemungkinan kalau nanti gue bakalan pindah. Jadi, mereka bilang lebih baik keluar dari sekarang," ucap Ria.
Bahu Salsa langsung merosot lesu karena harus kehilangan tiga anggota hari ini, hanya tersisa lima orang lagi yang masih bertahan. Ke depannya pasti akan ada masalah yang lebib besar daripada sekarang, jadi ia harus menyiapkan hati dan ikhlas jika klub yang baru seumur jangung ini bubar.
"Sama kayak Zifa, aku harap kalian gak keluar dari grup dan tetap mau ngumpul bareng kalau lagi di sekolah," kata gadis berkepang dua yang menjadi ketua klub itu.
Anjani yang berada di sebelah kanan Salsa langsung mengusap pelan bahu temannya itu, ia tahu jika gadis di sampingnya ini sedang merasa down. "Gak apa-apa, ini bukan salah kamu. Seenggaknya kita pernah ada di masa ketika mereka sulit," bisiknya.
"Makasih, Anjani," lirih Salsa.
Bel jam istirahat kembali berbunyi, mereka segera membubarkan diri untuk kembali ke kelas masing-masing. Anjani merangkul bahu Salsa dan membawa gadis yang sedang tidak bersemangat itu ke kelas mereka, jika dibiarkan berjalan sendirian maka mereka akan terlambat.
Namun, sebelum memasuki kelas Salsa dipanggil oleh wali kelasnya untuk masuk ke ruang guru. Gadis itu yakin jika ini ada hubungannya dengan nilai, ia berharap mendapat kabar baik setelah tadi menerima kabar buruk.
"Silakan duduk, Salsa," kata Bu Dian selaku wali kelas 12 IPA satu.
Tangan Salsa langsung menarik kursi yang terlalu rapat dengan meja, lalu duduk di sana. "Terima kasih, Bu," balas gadis itu.
"Kita langsung aja, ya. Ibu mau menyampaikan soal nilai kamu. Ini hasilnya," ucap Bu Dian sembari memberikan selembar kertas hasil print out nilai Salsa.
Bibir gadis itu langsung terangkat melihat usahanya yang membuahkan hasil, meskipun nilainya belum bisa melampaui yang sebelumnya tetapi setidaknya sudah kembali normal. "Terima kasih, Bu," ujar Salsa.
"Salsa, ibu minta maaf sebelumnya. Tapi sebenarnya ini bisa dikatakan sangat curang. Kamu mendapat nilai lain dari tugas yang tidak diberikan pada teman sekelasmu, nilaimu bertambah sementara mereka tidak. Apa kamu tidak kasihan sama mereka yang menjadi korban keegoisan orang tuamu? Ibu tahu kamu lebih tertekan lagi. Boleh ibu minta satu hal?"
Jantung Salsa berdetak lebih kencang hingga ia sendiri merasa seperti habis lari maraton, gadis itu merasa posisinya saat ini sangat terancam. Prilaku kedua orang tuanya sudah menjadi rahasia para guru, tak jarang mereka melampiaskan rasa kesal pada Salsa karena Safira terlalu menuntut jika anak bungsunya harus mendapat nilai bagus.
"Apa, Bu?" Salsa sendiri tidak yakin suaranya bisa didengar, seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya.
"Tolong kamu lebih berusaha lagi sampai nilai yang didapat murni dari tugas yang sama dengan temanmu," pinta Bu Dian.
Salsa tertegun sejenak, lalu tak lama gadis itu mengangguk yakin. "Iya, Bu. Akan saya usahakan, terima kasih atas sarannya," ucap gadis itu.
"Kalau begitu kamu boleh kembali ke kelas."
Namun, sebelum Salsa keluar dari ruang guru, Bu Dian kembali berkata, "Kamu percaya karma? Ibu hanya takut kecurangan kamu saat ini menyulitkan di masa depan. Semangat berjuang, Salsa!"
Sepanjang perjalanan menuju kelas, ucapan Bu Dian terngiang-ngiang di pikiran Salsa. Ia membenarkan perkataan guru muda itu, tetapi untuk berjuang lebih keras lagi daripada ini masih akan diusahakan. Otaknya yang pas-pasan membuat ia kesulitan dalam memahami pelajaran dengan cepat.
"Permisi, Pak," ucap Salsa sambil mengetuk pintu kelas.
"Langsung duduk, Salsa!"
Gadis itu melangkah menuju bangkunya yang berada di belakang Anjani, sepanjang pelajaran ia sama sekali tidak bisa fokus hingga bel pulang berbunyi. Bahkan, ketika berjalan menuju parkiran pun gadis itu tampak linglung. Ia seolah kehilangan arah dan terombang-ambing di tengah lautan.
"Langsung ke tempat les, Non?" tanya Pak Ardi ketika Salsa memasuki mobil.
"Aku kelas malam, Pak. Nanti jam enam perginya," jawab Salsa. Tadi ia sempat diberitahu jika pertemuan les hari ini diundur menjadi jam malam karena gurunya ada acara dari pagi hingga sore hari.
Ketika sampai di rumah, Bram sudah ada di ruang keluarga lengkap dengan buku-buku baru yang berada di dalam kotak. Tak ingin dicap durhaka, Salsa terlebih dahulu menghampiri papanya sebelum masuk kamar. "Pa," sapa gadis itu.
"Sal, papa baru beliin kamu buku latihan soal dari macam-macam pelajaran. Jangan lupa dikerjain, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things [END]
Teen FictionKata orang, anak yang berbakti adalah anak yang menuruti perkataan dan perintah orang tua. Kata orang, anak adalah investasi. Kata orang, anak harus membalas jasa orang tua yang merawatnya dari kecil. Kisah ini hanya dari gadis biasa yang ingin hidu...