"Mau sampai kapan kamu tidur begini nak?"
"Mama gak akan marah asal kamu bangun. Papa ... Papa juga gak akan marahin Ratha lagi 'kan?"
"Iya."
"Tuh, kamu dengar kan Ratha sayang? Kita gak akan marahin kamu lagi. Ayo dong bangun. Hiks!"
Emma mendesis lirih merasa seluruh tubuhnya kaku dan sakit. Dahi gadis itu mengernyit sebelum kedua matanya perlahan terbuka. Samar-samar Emma melihat plafon bercat putih dan cahaya yang terang benerang menusuk kornea matanya.
"RATHAA?!!!"
"MAS PANGGILIN DOKTER!"
"MAS!?"
"Gak perlu. Kita tinggal tekan tombol ini."
Kepala Emma terserang rasa pusing begitu mendengar suara histeris dan isak tangis penuh haru itu. Mata Emma kemudian melirik dua orang seumuran Mama dan Papanya sedang menatapnya dengan pandangan berbeda.
Si wanita menatapnya bahagia dan haru, sedangkan si pria cenderung dingin dan sulit diartikan.
Tak berapa lama terdengar pintu terbuka. Datang seroang dokter laki-laki dan dua suster dibelakangnya. Tanpa banyak omong, dokter itu memeriks kondisi Emma, sedangkan kedua suster melepas alat-alat yang menempel di tubuhnya kecuali infus.
"Praja, kenapa kamu yang ke sini? Mana dokter Deon?" si wanita setengah baya menatap dokter bernama Praja itu heran.
"Ada urusan lain." jawabnya tanpa ekspresi. Emma menatap diam dokter yang telah selesai memeriksa kondisinya itu. Kalau dilihat-lihat ekspresi datar itu sangat mirip dengan si pria setengah baya.
"Bagaimana?" dengan suara beratnya, dokter Praja menatap datar dua suster disebrangnya.
Salah seorang suster mengangguk. "Sudah stabil semua dok."
Dokter Praja giliran mengangguk. Melalui kode mata, Emma bisa melihat si dokter tampan itu menyuruh dua suster meninggalkan ruangan.
"Gimana nak?" tanya si wanita setengah setelah mendekat beberapa langkah.
Anggukan kepala dari dokter Praja yang disambut tangisan haru si wanita setengah baya. Beliau mendekat dan memeluk kepala Emma dengan sayang.
"Makasih udah dengar doa Mama, nak. Makasih sudah bangun."
Emma hanya diam. Jadi, beliau Mama dari raga ini?
"Tapi, karena Ratha koma dalam waktu yang cukup lama. Ratha butuh terapi otot-ototnya yang kaku." si dokter bersuara.
Wanita setengah baya yang memanggil dirinya Mama itu melepas pelukan. Menatap Emma dengan tatapan selembut sutra. Mata Emma menjadi memanas, dia jadi merindukan Mamanya yang cerewet itu.
"Praja pergi dulu." si dokter kembali bersuara kali ini ditanggapi anggukan kepala oleh Mama dan juga pria berjas rapih yang mungkin adalah Papa dari raga ini.
"Ma, sebaiknya kita keluar. Biarin Ratha istirahat dulu." kata pria itu setelah melihat jam dipergelangan tangannya. Si Mama menyanggupi, beliau mengecup pelepis Emma sebentar sebelum meninggalkannya sendiri.
Setelah benar-benar sendiri, Emma menghela lega. Di kelilingi oleh orang-orang yang baru pertama kali ia lihat, membuat Emma dirundung rasa canggung.
Emma menghembuskan nafas kasar. Tak apa, mungkin rasa canggung itu akan berangsur menghilang selagi dia memulai peran menjadi Ratha.
Karena lelah berbaring, gadis itu berniat mengubah posisinya menjadi duduk. Emma memekik tertahan ketika merasa tulangnya seperti akan remuk, apalagi ototnya yang kaku membuat Emma merasakan rasa nyilu di sekujur badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fill The Empty Body
Fantasía{FOLLOW SEBELUM BACA} Emma tidak tahu dan tidak pernah mengerti apa dosa terbesarnya selama hidup di dunia. Yang pasti dia bukan pembunuh atau sisiopat keji yang sudah pasti dosanya akan sulit diampuni. Nyatanya, Emma Laryana hanyalah seorang gadis...