B A S S U R A

629 65 4
                                    


.
.
.
.
.






The Place of Peace Bassura





Tangan besarnya meremat potongan kertas yg terbang tertiup angin dimana sebuah artikel dengan cetak huruf tebal menyerukam kedamaian. Di buangnya jauh kertas yg sudah remat jauh jauh dan netra keemasannya memandang. Lihat sekitarnya, begitu tandus. Bahkan lahan dimana sejauh matanya memandang hanya ada pasir beserta reruntuh bangunan tertimbun, udarapun tak cukup baik untuk di hirup untuk sekedar mencari kesegaran.

Inilah tanah lahirnya. Bassura.

Dimana damai memang berasal dari sana. Kesejahteraan rakyat, sosial yg merata, serta minim tindak kriminal benar nyata adanya. Sumber daya lestari alampun melimpah, Tapi dulu sekali, sebelum pengkhianat masuk dan memporak porandakan seluruh rumahnya. Menciptakan perang dan berebut kuasa, merubah lahan sumber daya lestari menjadi petaka yg berakibat separuh tanah menjadi kering dan tandus.

Bukan sampai disitu, banyak nyawa tak bersalahpun ikut melayang. Termasuk kedua orang tuanya dan dua adik perempuannya.

Menyakitkan.

Karna sewaktu perang besar terjadi, dirinya tak ada di sana. Bassura. Menjadi pedih tak berujung untuknya dan keberuntungan untuk bisa membalaskan dendam.

"Tuan, sebentar lagi hari akan gelap. Kita harus segera mencari tempat berlindung." Suara lembut seorang budak membuatnya sadar dari amarah tak berkesudahannya.

Tapa berkata, ia melanjutkan perjalanannya dengan sepeda motor yg ia pinjam 4 bulan lalu saat bertandang ke sebuah toko senjata. Lebih tepatnya, mencuri.

Derigen airnya sudah terisi penuh, dengan tas yg penuh dengan persik segar yg sang budak temukan tadi entah darimana.

Gelap datang, bersamaan dengan sebuah tempat di dalam goa batu sebagai tempat singgahnya. Mereka tak bisa berdiam diri di satu tempat, karna dirinya yg masih di buru oleh para Germa— Pemburu).

Si budak menyalahkan api unggun kecil di sana. Menyiapkan tumpukan jerami yg selalu ia bawa dalam salah satu tas ranselnya lengkap dengan kain sutra sisa yg lusuh, menjadikannya alas tidur untuk sang tuan yg kini sedang sibuk mengasah pedang yg diketahui bernama Damaskus tersebut.

"Tuan, tempat tidurmu sudah siap."

Tuannya hanya membalas dengan dehaman. Menyisakan sunyi, serta percikan kayu yg terlahap api. Tak tahan diam, si budak mengeluarkan satu buah persik dari salah satu tas dan memberikannya pada sang tuan. Tak lupa menyuguhkan sebotol minum air segar oase, yg di temukan di tengah perjalanan tadi.

Manik emas sang tuan beralih pandang pada sosok si budak yg kini tersenyum lucu, menenggelamkan matanya. Sudah beberapa tahun terakhir, orang yg selalu setia menemaninya adalah si budak. Dia sendiri bingung, kenapa orang yg ada di hadapannya ini mau mengikuti orang seperti dirinya yg tak punya tempat tinggal tetap. Sebut saja gelandangan, dan orang paling di cari di tanah Bassura yg tersisa.

"Kenapa kau terus mengikutiku?"

"Karna aku budakmu."

"Aku tak pernah memperkerjakan orang lagi sejak aku kembali dari Treem. Dan lagi, Aku bukanlah lagi pangeran, anak dari sang raja. Maka jangan membebanimu dengan tugas konyol seperti ini."

Raut wajah si budak mendadak murung.

"Aku tak lapar. Makan saja persiknya."

Dia melanjutkan kembali mengasah pisau dan kembali mangacuhkan wajah murung si budak. Mengambil potongan kulit Kijang untuk mengelap pedangnya.

Sekisah Dua Kisah MinimoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang