Awal Mula

547 77 129
                                    

24 Agustus 2019, pukul 09.00 UTC+8

Di Rumah Tok Aba.

"Pemirsa, diprediksikan, hujan lebat disertai angin kencang akan menghantam Pulau Rintis, mulai pukul 15.00. Diimbau kepada seluruh warga, agar tidak keluar dari rumah pada sore hari."

TUP ...!

"Yah ... Kak Gem! Kok ditutup televisinya? Ada berita penting nih."

"Berita penting apaan, heh ...? Bangun-bangun, bukannya tanpa sarapan, sikat gigi atau bantu Kakaknya, malah langsung ke TV!"

Dari percakapan mereka, kalian telah mengetahui, siapa yang mematikan televisi tersebut, 'kan? Yups, Kakak ketiga dari tujuh bersaudara. Dengan celemek khasnya, berwarna kecokelatan, dia sibuk menatar adiknya berkacamata visor ... dan seperti biasanya, Solar men-cuekin-nya. Raganya saja di sana, tapi pikirannya melayang entah kemana.

"Solar, kamu dengar omongan Kakakmu ini? Solar? Solar!"

"E—eh, iya, Kak Gem ... maaf, hehe ...."

"Huh ... baiklah .... Eh, Solar, kau bantu pindahkan sebagian kaleng bubuk cokelat di gudang bawah tanah ke pintu depan, untuk dibawa ke Kedai Tok Aba!"

"Kapan, Kak Gem?"

"Tahun depan."

"Ooh ... aih, kalau tahun depan, kok malah mintanya sekarang, Kak?"

"Itulah kau! Tahu pun sekarang, masa masih nanya lagi, 'kapan?' Ah, udahlah ... pergi ke gudang segera!"

"Ish ... tanya bah, Kak ... hmmm ... okelah, aku ke sana."

"Okay! Aku bakal tunggu di kedai Tok Aba."

Gempa meninggalkan Solar di rumah. Seperti diucapkannya, dia pun pergi ke toko kakeknya. Solar sendirian. Blaze, Taufan, dan Thorn bermain sepak bola di lapangan sekolah. Ice bersama kakeknya, walaupun tidak meringankan beban Tok Aba. Hali berada di rumah Fang, sedang berlatih Matematika kepada Kapten Kaizo.

Ia membuka pintu dan menuruni tangga, menuju gudang penyimpanan di bawah tanah. Sepanjang lorong itu, dipenuhi debu. Sampai-sampai, dirinya bersin dan mengeluarkan lendir agak kental dari kedua lubang hidungnya. Kemudian, ia mengelap lendirnya dengan tisu di kocek.

"What the ... ini kotornya minta ampun ...," monolog Solar.

"Tapi, biarlah ... aku harus ngambil-nya!" lanjut Solar.

Sekarang, dia tepat berada di depan pintu besi. Ia mengetikkan password yang diciptakannya dan ... terbuka! Akhirnya, Solar dapat memasukinya. Ruangannya penuh dengan kaleng-kaleng bubuk cokelat, yang tersusun rapi dan bersih. Sangat kontras, bukan, antara lorong dan storage room-nya?

Solar berjalan dan mengambil kaleng-kaleng cokelat satu persatu. Perlahan-lahan, ia menaruhnya ke dalam kantong yang telah disediakan. Solar sangat takut, andai benda-benda tersebut penyok, kalaupun bengkoknya hanya kecil. Menghadapi kakak pertama dan ketiganya, dua insan yang amat idealis dan perfeksionis, akan sangat rumit. Terlambat sedetik saja, bagi mereka, setara dengan mencuri uang satu kuadriliun. 

"Duh ... gimana, ya, bawa ini semua? Hah ... keterlaluan dia! Main tinggalin aja sendiri, dengan barang sebanyak ini!" keluh Solar.

Tanpa Solar sadari, rak-rak bergetar ke sana dan kemari. Sehingga, barang-barangnya menjadi tidak beraturan. Beberapa kaleng terjatuh ke lantai.

DUM ...!

"Ocopotjantungku!" latah Solar.

"Ish ... apalah .... Alamak ... tamatlah aku! Pada bertaburan semua, cokelatnya. Aduh ... nahas!" rutuk Solar.

"Hmm ... tapi, aneh juga. Perasaan, aku gak megang sama rak di situ. Aku juga ngerasa ada getaran yang menggoyangkan tubuhku .... Hem .... Ah, ini pasti ulahnya si Brengsek Adu Du lagi! Awas aja dia nanti!" tandas Solar.

Belum lama Solar mengutuk keras, menyumpah serapah si alien hijau itu. Tiba-tiba, handphone-nya berbunyi, "Kring ... kring ... telolet ... Telolet ... Solar ganteng ... Telolet ... Telolet!"

Ia melihat di layar hp, orang yang menghubunginya. Kedua matanya melotot lebar, saat menengok nama kontak tersebut.

Wah ... bahaya! Kak Hali nelpon-ku ... semoga saja, ia tidak bergegas, pulang ke rumah. 'Kan bisa gawat? batin Solar.

"Ha—halo, Kak," sapa Solar agak gugup, memulai pembicaraan.

"Sol!" sahut Hali.

"I—iya, Kak? Ada apa?" tanya Solar terbata-bata.

"Sebentar lagi, gue akan ke rumah lo! So, tetap di rumah!" perintah Hali.

"Loh, memangnya kenapa, Kak? Tumben ... Kakak pulang cepat? Kok kakak tahu lokasiku?" berondong Solar.

"Apa maksudmu bertanya demikian? Kamu tidak suka, aku di rumah, hah? Kamu mau ngusir-ku, gitu? Begitu!" hardik Halilintar.

"Wow ... hebat! Anda benar sekali .... Haih .... Waduh, keceplosan!" panik Solar.

"Sialan kau! Brak ... tut ... tut ... tut ...."

Astaga ... gila ... parah ... aku benar-benar cari mati dengan Kakak tergarangku. Aku musti bersembunyi, ujar Solar dalam hatinya.

Dua menit setelahnya, telepon Solar kembali berbunyi. "Kring ... kring ... telolet ... Telolet ... Solar ganteng ... Telolet ... Telolet!"

Emm ... ini lagi, siapa? Coba kuangkat, tutur Solar dalam benaknya.

"Halo," kata Solar.

"Ini Kak Gempa! Kamu di rumah, ya? Stay at home!" instruksi Gempa rada tergesa-gesa.

"Loh, kenapa Kak? Di sana, terjadi masalah 'kah?" tebak Solar spontan.

"Iya ... beberapa menit yang lalu, terjadi getaran yang cukup kuat. Ini ... sampai piring dan gelas-gelas di toko, pecah. Udah ... pokoknya, kamu di rumah! Jagain rumah! Hati-hati sama nyamuk!" jelas Gempa.

"Iya, Kak, lalu ...," balas singkat Solar.

"Tut ... tut ... tut ...."

"Ehm ... sekarang, gimana? Ayolah ... pikirkan, bagaimana solusinya, supaya hal ini tidak terlihat dari mereka? Ayo ... mikir ... mikir!" seru Solar.

Bersambung ....

Fajar KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang