"Oh, musti tahu ... kamu 'kan .... Eh ... Gem—Gem—Gem—Gem—Gempa?"
"Iya, luar biasa! Lancar sekali kau bersuara ... ngatain saudaramu begitu, huh?" cakap Gempa dengan nada agak meninggi.
"A—a—a—a ... i—itu ... itu ... hmm ... oh, ya ... Kak Gempa, apa kabar? Sehat?" tanya Solar.
"Ceh ... begituan ditanya? Heh ... dasar pengalihan isu! Terlalu receh, itu mah!" cibir Gempa.
"Ehehe ... aduh ... yah, Kak ... jangan begitulah!" rayu Solar, mengubah topik pembicaraan.
"Lah ... terus ... kamu maunya, aku harus gimana? Gono?" respon Gempa.
"Hah ... Gono tuh siapa sih? Bawa orang lain segala," tutur Solar kebingungan.
"Ehmm ... kira-kira, siapa Gono, ya?" balas Gempa juga kebingungan.
"Hemm ... wait ... wait ... kok kita, pada bahas Gono? Sementara, dianya saja nggak di sini," protes Solar.
"Argh ...! Ah, sekarang ... saya bingung ...! So, gimana nih?" resah Gempa.
"Loh ... tanya ke saya pula. Kakak sendiri, yang memunculkan topik tersebut. Mengapa justru saya, yang mesti bertanggung jawab?" protes Solar lagi.
"Heleh .... Gayamu itu loh ... kayak kita baru pertama kali bertemu! Hello! Kau kira ... aku nggak tahu tabiatmu? Tadi, itu juga bagian dari akal-akalanmu, untuk mengalihkan pikiranku! Kau pikir, aku gak tahu trick-mu?" tukas Gempa.
"Tidak, kok ...! Anda memfitnah, mencemarkan nama baik saya! Asal Anda tahu, pantang bagi seorang bernama Solar, untuk bertindak ada udang di balik batu," tuding Solar.
"Hahaha ... sungguh? Omonganmu bisa kupercaya? Haduh ... haduh ... aduh ...! Lucu sekali memang. Kamu menganggapku lupa ingatan, ya? Atau ... mungkin, karena kamu kekurangan bahan untuk menipuku?" ledek Gempa.
Waduh ... bahaya ... udah mulai kebongkar! Duh, habislah ... bentar lagi, masalah besar akan menyambangiku! batin Solar gelisah.
"Kenapa, heh? Kenapa? Fakta 'kan? Tidak salah 'kan argumenku? Hah ... Solar ... Solar .... Sudahlah ... akuilah kesalahanmu! Tidak perlu berlari dari masalah yang kamu hadapi saat ini. Perkara perlu penyelesaian, bukan pelarian! Remember! You are ...," tegur Gempa.
"Stop ... stop! Hoam ... ada apa dengan kalian berdua? Bertengkar? Alasannya? Lokasinya? Waktu kejadian? Kronologinya?" sela Ice.
"Widih ... pertanyaannya sangat komplet! Memuat unsur what, who, when, why, where, dan how," puji Gempa.
"Tingkahmu seperti jurnalis aja," timpal Blaze.
"Iya, dong! Saya 'kan bercita-cita ke dunia pers. News is my life! Tiada hari tanpa berita," tanggap Ice antusias.
"Ilih ... model pemalas gitu, mana mungkin dapat menjadi wartawan," ejek Blaze.
"Ih ... ngiri dia sama-ku," serang Ice.
"Eleh ... siapa yang iri denganmu? Sorry, ya, Bro .... Lagi pula, berprofesi sebagai jurnalis, mewajibkannya untuk aktif dalam mencari informasi. Kalau situ tidak bisa mengubah kebiasaan jelek, suka molor ... udah deh ... jangan berharap impianmu, bekerja di situ, bakal terwujud!" tandas Blaze.
"Ehem ... ehem ... saya di sini nyamuk?" deham Taufan.
"Wah ... ada nyamuk di antara kita, guys!" seloroh Blaze.
"Kita bersaudara, Blaze, bukan teman," sanggah Ice.
"Salah?" tanya Blaze.
"Kurang tepat," lontar Ice singkat.
"Terus?" tanya Blaze kembali.
"Tidak ada," jawab Ice.
"Maksudnya?" lanjut Blaze.
"Entahlah ... diriku tak tahu," jawab Ice sekenanya.
"Woi, kalian!" panggil seseorang.
"Yo, Pal!" sambut Taufan dan Blaze.
"Bangunan sekolah runtuh!" seru Gopal, langsung ke inti.
"Sekolah siapa?" soal Taufan dan Blaze.
"Sekolah Bambank," sinis Gopal.
"Ooh ...," ucap Taufan dan Blaze.
"Ish ... sekolah kitalah, Bego!" geram Gopal.
"Oooh ... emmm ... tunggu dulu, apa? Sekolah kita?" pekik mereka, terkejut.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar Kelabu
FanfictionPara Boboiboy Elemental dan warga Pulau Rintis mengalami peristiwa yang tidak terpikirkan sebelumnya dan sulit untuk dilupakan oleh mereka, bahkan siapapun. Kejadian apakah itu? Bagaimana kronologinya? Penasaran? Ayo, ikuti terus kelanjutan ceritany...