Bencana dan Pilu : Bagian (1)

59 8 34
                                    

"Haduh .... Alamak! Ini ngapa makin keras, nih, guncangannya?" lirih Halilintar, tersungkur di lantai, dalam keadaan bingung dan panik.

Goncangan tersebut menggerakkan lemari, meja, dan kursi yang ada di dalam kamar itu, ke arah kiri dan kanan. Lampu yang menerangi bilik tidur itu, langsung padam. Alhasil, dia tidak dapat melihat apa pun yang terdapat di sekitar. Satu-satunya sumber cahaya yang bisa diandalkannya hanyalah sinar remang-remang oleh Matahari yang hendak menunjukkan eksistensinya di angkasa yang berwarna biru tua bercampur kuning kejinggaan itu. Dirinya berusaha untuk berdiri, bersiap menyelamatkan kedua adik sepupunya terhadap bahaya-bahaya yang mungkin akan menimpa mereka. Namun, nahasnya, semuanya sebatas wacana. Rencana dan kenyataannya tidak serasi beriringan, tetapi, justru bertolak belakang. Akan tetapi, ajaibnya, Beliung tidak terbangun ataupun merasa terusik. Ia terlelap, sibuk di dunia alam bawah sadarnya. Lain hal dengan anak keempat dari saudara ayahnya itu, Glacier malah sontak siuman. Ini merupakan suatu mirakel yang datang pada kondisi yang kurang tepat.

"Glacier! Cepat turun dari kasur sekarang! Kita berlindung di ba-" seru Halilintar, badannya dalam posisi menelungkup beserta kedua sikunya menekan ke lantai keramik yang bercorak daun pada tumbuhan pakis.

PRANG ...!

Gelas besar berbahan kaca di atas meja, menggelinding dan terjatuh ke bawah. Benda itu telah pecah berkeping-keping dan berserakan. Malangnya, satu di antara ratusan beling kaca, secara tak sengaja, menancap ke lengan kakak pertama dari tujuh Boboiboy bersaudara itu. Walaupun, kepingannya tidak mengenai pembuluh darah vitalnya, rasa perih yang ditimbulkan oleh kecelakaan tersebut tidak dapat dianggap sepele. Hali, sapaannya, menjerit kesakitan di dalam hati. Ia berjuang menahannya, tak ingin memperkeruh situasi yang dipenuhi kegundahan di tengah kekisruhan. Glacier menengok insiden itu. Ia sebetulnya sangat iba. Namun, dia tidak mungkin bisa menolong kakak kerabatnya itu, karena fokusnya tercabang menjadi banyak bagian, yakni melindungi dirinya sendiri, adik-adiknya, dan sanak saudara yang lain. Selain itu, dia tidak dapat menjangkau remaja penggemar kilat merah, sebab jaraknya yang cukup jauh di antara mereka. Ia, pada akhirnya, memutuskan menjaga sembari menyadarkan adik mudanya di sampingnya. Pertimbangannya, dia terlalu belia dan kondisinya yang terangut, sehingga tak bisa memproteksi dari bahaya seorang diri.

"Liung! Bangun! Bangun, Beliung!" pekik Glacier, kedua tangannya berpegangan, mencengkeram bahu adik keempatnya itu. Sebenarnya, ia tak ingin mencengkamnya. Dia berkehendak menggoyangkan pelan badan saudara mudanya itu. Akan tetapi, diakibatkan getaran yang dialaminya kuat, suka atau tidak suka, dia berbuat demikian. Itu pilihan yang lebih baik daripada ia menimpa dadanya atau perutnya.

"Arrghh! Astaga ... kenapa makin kencang guncangannya, nih? Kapan berhenti? Arrssh ... sakit ...!" rintih Halilintar. Lengannya yang cedera mengalirkan darah berwarna merah kegelapan yang mengucur ke sekelilingnya. Hati Glacier resah menatap kondisi kakak kerabatnya yang sengsara dan tidak berdaya, sama seperti dirinya, pada saat ini. Kedua bola matanya melirik ke jendela. Kendatipun, tertampak samar-samar, ia boleh menyaksikan dengan benderang, bagaimana lindu yang mengusik masa fajarnya pada detik ini, sanggup menumbangkan tiang listrik di depan rumahnya, roboh dan menghancurkan genteng kediaman jirannya. Ia memandang ngeri akan hal tersebut. Syukur, kata yang diucapkan di batinnya, sebab tidak runtuh dan menghantam ke rumahnya. Tetapi, ada satu hal yang hampir luput dari tatapannya itu, yakni sebuah lemari pakaian beroda yang bergeser dengan arah yang tidak beraturan. Halilintar yang menyadarinya, memperingatkan Glacier agar menjauhi tepi kasur yang sisinya tidak bersinggungan dinding rumah.

"Glacier! Jangan dekat situ! Kau tak lihat, gerakan lemarinya itu kayak air ember yang diobok-obok? Bisa-bisa, kepalamu atau badanmu bertumbukan dengannya!" instruksi Halilintar.

"E—eh .... Kak! Awas, Kak! Dia menuju ke Kakak sekarang!" jerit Glacier, terperanjat.

"Hah, apa?" balas kakak Taufan, terkaget bukan main. Ternyata ... benda yang memiliki bentuk bangun ruang balok yang amat tinggi itu, seketika berpindah kepadanya. Ia hendak menghindarinya, namun, tak bisa dilaksanakannya. Ia pun cuma berpasrah sekaligus berdoa supaya benda besar itu tak menubruknya. Di luar perkiraannya, almarinya mendadak berbelok ke tempat lain. Sang Pencipta mewujudkan doanya. Ia bergembira. Setidaknya, kisah hidupnya tidak berakhir dengannya tertiban oleh tempat penyimpanan pakaian.

Fajar KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang