Kerja Sama

53 12 10
                                    

"Gimana ini cara ngangkut mereka?" soal Halilintar, tak menghiraukan si Landak Ungu.

"Karung goni, ya, maksudmu, Li?" tanggap Fang dengan nada santai.

Tidak habis pikir terhadap bocah, eh, lebih tepatnya, remaja lelaki satu itu. Banyaknya manusia yang tergeletak pingsan di hadapannya. Sungguh tidak masuk akal bila dia tidak menengoknya. Apa itu hanya sekadar basa-basinya? Atau apakah kedua lensa matanya dalam kondisi bermasalah, sampai-sampai, orang pun dipandangnya karung goni? Ah, apa mungkin ia, sebenarnya, cuman melawak di tengah situasi cukup genting ini?

"Matamu, tuh, karung goni! Kagak ngelihat, apa, orang-orang yang bertaburan di sini, macam bintang di angkasa?" cela Halilintar atas ucapan Fang yang dianggap konyol.

"Puitis sekali kalimat Anda. Saya teramat terpana mendengarkannya, hingga, saya ingin merekam ulang, Hali," respon Fang di luar dugaan Halilintar.

"Apaan sih, Fang? Nggak jelas! Itu sarkasme, bukan majas!" seru Halilintar.

"Wah ...! Ini, nih, bukti akibat dari tidak belajar bahasa dengan baik. Sarkasme termasuk ke dalam majas. Banyak sekali jenis majas atau gaya bahasa, seperti simile, metonimia, repetisi, litotes, dan lain-lain, termasuk pula sinisme, ironi, satire. Begitu penjelasan singkat perihal gaya bahasa dalam sastra. Bagaimana? Apakah Anda memahaminya?" papar Fang sangat rinci bak guru dadakan.

"Wow ... terima kasih pengajaran Anda, Bapak Fang. Pikiran saya tercerahkan oleh intelektualitas Anda," cibir Halilintar.

"Iya, sama-sama, muridku. Diriku terharu, tersanjung pujian Anda," sahut Fang.

"Sudah ... sudah! Kalian malahan sibuk ribut sendiri," lerai Yaya.

"Wah, Anda ini tidak mengerti hal berbahasa yang benar. Itu keliru, Yaya. Kalau ribut sendiri, misal saya ini tidak suka terhadap diri sendiri, saya mengajak berkonflik dengan saya sendiri, beradu mulut dan fisik sendiri. Nah ... itulah ribut sendiri," sanggah Fang.

"Tahu nih, Yaya. Lagi pula, mana ada juga yang ribut dengan diri sendiri? 'Ih ... aku benci dengan diriku! Aku pukul aku! Aku pukul aku!' 'Kan aneh kedengarannya?" timbrung Gopal.

"Hah ... terserah kalianlah! Ini, aku ingin tanya, cara angkut ma—eh, maksudnya, orang-orang yang terkapar ini bagaimana?" tanya Yaya.

"Sepertinya, setelah aku bertanya perihal itu dan lima belas menit terbuang sia-sia demi adu argumen yang nggak jelas dari Fang, baru ada yang menyadari dan mengerti, ya?" sindir Halilintar.

"Aku tidak ikut-ikutan, loh, ya! Anda jangan sembarangan menuduh!" berang Fang, tersinggung dengan perkataan Halilintar.

"Lah ... ini satu lagi. Ada apa sih, marah-marah tak jelas ke saya?" ucap Halilintar heran.

"Heh ... kamu mau bilang, kami semua, tuh, bloon, gitu? Kurang ajar kamu! Percuma pintar, tetapi tidak beretika berbicara!" protes Gopal.

"Nggak kok, Gopal. Yah, kecuali, kamu, sih," balas Halilintar.

"JLEEEBBBBBB ...!" pekik Gopal.

"Pal, suara apa tadi?" soal Fang.

"Oh, itu suara angsa yang nyanyi saat makan dan tersangkut tulang ikan di lehernya," jelas Gopal.

"Oooh, begitu ...," sahut Fang sembari menganggukan kepalanya.

"Yeh ... ini anak dungu atau apa sih? Masa begituan kagak ngarti sih? Katanya, anak pintar, juara pertama dari satu siswa," cemooh Gopal terhadap Fang.

"Sudahlah!" hardik Yaya kepada Gopal dan Fang. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya, seakan ingin menjadikan kedua temannya yang konyol tidak tertandingkan itu sebagai guling tinjunya. Hal tersebut merupakan petunjuk yang amat berbahaya bagi siapapun yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itu, lantas, Halilintar menjaga jarak, menyelamatkan diri dari Yaya sebelum terlambat.

Fajar KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang