Runtuh : Bagian (2)

239 41 53
                                    

"Oooh ... emmm ... tunggu dulu! Apa? Sekolah kita?" jerit mereka, terkejut.

"Iya!" pekik Gopal.

"Waduh! Terus ... gimana dong sama ulangan Matematika kita?" tanya Taufan dan Blaze khawatir.

"Aih ... hmm .... Dey ... bukankah kelas kita belum ada tes Matematika satu pun?" respon Gopal kaget.

"Nah ... ini nih, yang kamu tidak ketahui! Kau masih ingat gak, pas jam pelajaran Matematika minggu lalu?" tanya Blaze.

"Hah ... maksudmu?" ucap Gopal tidak mengerti.

"Yeh ... cepet banget sih lupanya! Pantas saja, utang warung Tok Aba belum dilunasi sampai sekarang," cibir Blaze.

"Ck ... astaga ... cepetan ngomongnya, napa? Swear ... aku bingung, risau, galau ...," keluh Gopal.

"Loh ... mengapa Anda galau? Apakah karena perkiraan hasil ulangan yang jelek atau ... ehem ... di-putusin pacar, heh?" goda Taufan.

"Ish ... bukanlah! Mana mungkin aku galau karena di-putusin sama pacar! Boro-boro aku bersedih soal itu ... punya pasangan aja belum," tangkis Gopal.

"Hoho ... begitu, ya ...? Wah ... wah ... wah ... ternyata, ada yang sendirian di sini, guys," ledek Taufan.

"Eleh ... ngejek orang jomlo, padahal nasibnya sendiri juga tidak berbeda," sindir Halilintar.

"Idih ... sorry, ya ... aku tuh udah punya couple, tidak seperti kalian ... benar 'kan, Sayang?" tampik Taufan sembari merayu Yaya.

"A-apa ... apa kamu bilang? Sayang? Iiiih ... Ogah! Mimpi!" tangkas Yaya.

"Wahahahaha ... rasain! Layaknya peribahasa berujar, 'Senjata makan tuan.' By the way ... gimana? Emang enak ditolak langsung?" ejek Gopal.

"Oh, itu ... emm ... tenang ... mungkin dia malu mengakui isi hatinya, bahwa ia sebetulnya mencintaiku," dalih Taufan percaya diri.

"Sungguh, huh ...?" balas Gopal.

"Hei ... hei ... woi ... woi! Aduh! Kalian ini, gimana sih? Sekolah pada roboh, malah ributin tentang gebetan!" tegur Gempa.

"Ehmm ... oh, ya ... Pal, benaran sekolah kita runtuh?" lanjut Gempa.

"Iya, dong! Untuk apa diriku berlari ke sini, kalau bukan hal yang penting?" jawab Gopal.

"Tapi ... kok raut wajahmu kayak menunjukkan kesenangan? Ooh ... aku ngerti ... kamu ngeprank kami, ya? Iya 'kan? Hayo ... ngaku!" tuding Gempa.

"Ya, elah ... demen amat, aku berakting begitu. Seriusan! Dengan kedua mataku senduri ...," sangkal Gopal.

"Sendiri," potong Ice.

"Ho'oh ... itu yang kumaksud. Dengan kedua mataku sendiri, aku menyaksikan sekolah kita hancur!" sambung Gopal.

"Jadi, begitu?" tanggap Ice.

"Iya," balas Gopal.

"Hem .... Ya, sudahlah ... aku ingin tidur .... Bye ...," ujar Ice santai.

Sesudahnya, ia menuju ke teras Rumah Tok Aba. Langkahnya lunglai, bak orang yang tidak makan selama tiga hari. Kedua mata Ice sangat sayu. Tidak terpancar antusias ataupun semangat darinya.

Kondisi di sekelilingnya dapat dikatakan memprihatinkan. Sebagian pot-pot di halaman depan, hancur terbelah dan berserakan entah ke mana. Pohon-pohon di sekitar ... tumbang dan menimpa pagar, serta menutupi ruas jalan. Di samping rumah ... terdapat mobil penyok berwarna putih kebiruan, yang menabrak rumah Tok Aba, sehingga dindingnya rusak cukup berat. Bisa kalian bayangkan 'kan, betapa kacaunya di sana?

Akan tetapi ... hal tersebut tidak di-gubris oleh Ice. Dia terus berjalan ke dalam teras rumah, sekalipun fondasinya terlihat sudah tidak kuat berdiri. Lima huruf yang menyelimuti pikirannya, yaitu T-I-D-U-R. Maklumlah ... jawara tukang molor.

"Oi ... Ice, hati-hati!" seru Blaze mengingatkan.

"Santuy, Laze ... gak bakal kenapa-kenapa kok!" sahut Ice.

"Tapi ... itu ... tiangnya miring gitu ...," cakap Blaze.

"Tenang, Sob .... Gua yakin, ini bangunan nggak akan roboh! Lo kudu percaya sama gue!" sela Ice.

"Eh, tapi ... tapi .... Tapi ...," bantah Blaze.

"Ah, berisik! Gak usah banyak cincong lo, Blaze!" sergah Ice.

Namun, tanpa disadari ....

BRAK ... DUM ....!

Bersambung ....

Fajar KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang