Halusinasi : Bagian (1)

111 11 24
                                    

"Hah ... terserah, Gem! Yuk, kita ke sana secepatnya!"

"Tok! Atok!" pekik Halilintar dari kejauhan. Kerisauan terbit di hati Petir Merah itu. Siapa pun, tidak akan mungkin menyembunyikan rasa tersebut, lebih-lebih terjebak di dalam bencana tidak jelas itu. Ia boleh menutupinya dengan wajahnya dan sikapnya yang acuh tak acuh. Namun, hatinya, ia sangat peduli terhadap kakeknya. Boleh diakui, dialah yang lebih peka jika hal itu mengenai kakeknya, bahkan melebihi Boboiboy Gempa. Untuk segala urusan orang lain, ia tidak mau tahu, kecuali pria tua bernama Aba.

"Oi, Lili-chan! Gempi! Ke sini, yuk, gabung sama eike!" Karakter utama dari maniak api ialah jahil. Pasti, ada saja korban-korban dari kenakalannya. Amato, ayahnya, juga merupakan satu di antara ribuan target keisengan Si Bocah Api. Ia pernah mengerjainya dengan merokok sembari minum-minum di depan ayah dan kakeknya, walau sesungguhnya hanya imitasi rokok dan air putih biasa. Lantarannya, Tomat menjadi amukan dari bapak Tomat, layaknya singa yang diganggu tidurnya. Yah, kira-kira tak jauh bedanya dengan si Batu Cokelat dan Petir Merah.

"Ah, ya ... mau jadi samsak untuk hari ini?" sinis Halilintar.

"Waduh ... waduh ... langsung main tangan aja! Jangan begitulah, Kak! Canda, Kak ... canda ... hidup gak berwarna kalau nggak ada candaan." Blaze berbicara lapang tanpa beban sekalipun. Tidak mengindahkan pula kedua orang yang mukanya mendidih, akibat ketidaksenonohan panggilan tersebut. Amat santai, bahkan dia sempat menunjuk banyak awan seraya menghitungnya. Padahal, ia sendiri tidak ingat jumlah gumpalan putih di angkasa yang sedari tadi telah dikalkulasikannya. Santai, tetapi seenak jidat.

"Ck! Udahlah, Blaze! Kita ancuran kayak gini, pun, masih cari gaduh, pengen rusuh-rusuh di dekat posko bencana. Kita bakal diusir nanti, dibilangnya ganggu masyarakat yang lain di sekitarnya, cuman karenamu ndak bisa nahan buat nggak lakuin kebiasaan anehmu itu, yang tidak mengenal situasi dan kondisi!" Ice merasa kesal bercampur jengah saat menyaksikan tingkah sanaknya yang terkenal hiperaktif itu. Laki-laki yang mungkin tersabar se-Galaksi Bima Sakti, tidak sanggup menahan lekas kejengkelannya, oleh karena tingkah Blaze yang menyebalkan. Ia jarang bunyi untuk persoalan remeh baginya. Berdebat ataupun kelahi untuk hal yang tidak penting, sama artinya menyia-nyiakan waktunya yang berharga, yaitu masa tidurnya dan merenungkan arti kehidupannya hari demi hari. Sering kali, hasil perenungan jiwa serta gagasannya, dituangkan dalam bentuk rangkaian huruf di buku rahasiannya. Dirinya dapat marah sejadi-jadinya sewaktu orang lain mengusik buku diary-nya yang penuh teka-teki. Nahas, Blaze mengetahui isinya, tanpa diketahui oleh pemiliknya.

"Dih ... ngegas amat, Bocah! Kamu tersinggung, ya, lihat Lili-chan marah, tidak terima prank-ku, ya?" ledek Blaze, memancing kesabaran pendengarnya, Boboiboy Ice. Tidak lucu, meladeni ocehan Blaze dengan berduel fisik, sampai-sampai kota di Pulau Rintis hancur lebur dan reputasinya sebagai pahlawan yang luar biasa dari Bumi, sirna. Dari sisi lain, persisnya, di samping mereka, memijat dahi dan mengusap wajahnya masing-masing. Pikirannya terpecah. Apakah harus turut serta adu mulut antara pengguna elemen Api dan Air, atau memikirkan nasib mereka yang merana sekarang dan ke depannya, atau apakah mereka harus menolong warga-warga di sekitarnya sebagai tugas pengabdiannya? Usia boleh dikatakan tergolong dewasa, tetapi tidak satupun yang sanggup bertahan dalam masalah se-kompleks ini. Memutuskan untuk mendahulukan kepentingan publik, atau keluarga, atau soal dirinya sendiri bukanlah perkara enteng.

"Stop! Stop! Stop! Stop, Anak-anak Tulul!" gusar Gempa dan memakinya. Ia sangat jengah memiliki keluarga random, di mana kumpulan berbagai problema termudah hingga tersulit berpadu menjadi pemicu stress-nya. Semua hal menjadi percekcokan. Ia selalu menjadi penengah, meskipun ia lelah. Ia berkeinginan berhenti sebagai mediator dadakan saudara lucknut-nya. Yah, itu angan-angan saja, karena semuanya merupakan aktor utamanya. Amato tidak turut membantu meleraikan pertengkaran, justru ikut menyemarakkannya. Dia kira, hadir atau tidaknya ayahnya dalam kehidupannya, sebenarnya tak meringankan apa-apa terhadapnya.

"Lah, berarti, bapaknya Bang Blaze dan Ice itu Tulul, dong ... bukan Amato?"

Interupsi dari laki-laki penggemar tanaman itu mengagetkan semuanya di sana. Apa hubungannya antara celaan dengan status anak? Sungguh di luar nalar, tapi begitu nyata. Apakah ini yang dinamakan ajaibnya dunia?

"Mending, kamu diem aja deh, ya, Thorn. Statement-mu bikin bingung yang di sini! Kagak nyambung sama sekali!" cakap Taufan, tiba-tiba. Tok Aba terperanjat bukan main. Ia mencengkeram dadanya, disebabkan syok. Sementara, pria bermata biru safir itu, menampilkan ekspresinya yang seolah-olah berkata, 'Kalian kenapa sih?'

"Astaga ...! Ka—kamu ... ka—kamu!" ujar Halilintar. Tubuhnya bergegar kengerian dan menunjuk wajah adik pertamanya berulang kali.

"Heh ... heh ...! Apaan liat muka saya kayak begituan, macam nengok setan? Ini aku, Taufan! Si perjaka super tampan, bak artis terkenal, si BBB Angin, itu!" protes Taufan. Sudah tentu, ia tak rela menerima perlakuan tidak menyenangkan dari keluarganya. Tambahan lagi, kalau berkaitan dengan pelecehan harkat dan martabatnya, yakni meragukan sisi kegantengannya. Blaze ialah satu dari banyaknya korban yang terhempas pukulan indah darinya, lantaran mengusiknya dengan ujaran provokatif, yakni perbandingan Adu Du dan dirinya, lebih rupawan muka alien kotak itu ketimbang dirinya. Menurutnya, suatu penghinaan berat apabila disandingkan dengan durja alien itu. Minimalnya, tandingan yang sepadan, misalnya, selebriti Korea atau para pemain film yang go internasional, atau para model iklan di majalah dan televisi.

"Wahaha ... dia nyungsep ke parit pula ... hahaha ...," ujar Solar, tertawa terpingkal-pingkal, tanpa alasan yang jelas.

"Nyungsep? Heh, kalian kerasukan atau apa? Dari tadi, isinya nggak jelas melulu! Tok Aba pingsan, Kak Hali ketakutan, sampai ngompol di celana, dan ... ini ... kelakuan si Cahaya Ultrasonik, aneh banget! Ketawa terus, padahal gak ada yang hal lucu sama sekali." Ia, Taufan, mulai tampak frustasi di sana. Ia kelimpungan sejadi-jadinya. Kakek, abang dan adiknya, bersikap sangat ganjil. Ia bingung, masalahnya apa sedari tadi? Para insan yang masih belum belok di sana, cuman Gempa, Ice, dan Thorn. Ia hendak bertanya kepada Bocah Batu, akan tetapi ...

"Argh ... pusing ... Uhuk ...!" BRUK! Gempa ambruk di hadapannya. Mulutnya mengap-mengap, layaknya ikan-ikan yang terdampar di tepi daratan. Ia bergegas menghampiri adiknya ke-tiga sambil mengguncang perlahan, berusaha menyadarkannya.

"Gem—Gempa... Gempa ...! Gempa ... Gempa ...! Kamu ... ke—ke—kenapa? Astaga ... uhuk ...! Uhuk ...! Ini tidak normal ... sesak sekali ... uhuk ... uhuk ...! Ah ... hah ... sangat sesak! Jangan-jangan ... mereka ... halusinasi ... uhuk ... karena ... ini ... uhuk ... uhuk!"

Bersambung ....

Halo, Readers. Sudah lama Author tidak update bab cerita terbaru, dua minggu lebih. Author mencicil untuk menulis bab cerita ini. Oh, ya, Author bertanya, bagaimana dengan bab cerita ini? Silakan komentar di kolom komentar.

Sekian dari Author, terima kasih, dan tetap ikuti terus kelanjutan ceritanya.

Fajar KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang