Transformasi : Bagian (1)

147 15 13
                                    

"Sol! Lo keluyuran ke mana sih? Cepetan ke sini, Sol! Rumah kita mau roboh!" pekik Blaze di telepon selular.

"Apa?" tanya Solar.

"Rumah kita mau roboh, Sol!" seru Blaze di handphone.

"Apa?" ulang Solar.

"Rumah kita mau roboh ... Solar, anaknya Tomato!" ulang Blaze dari telepon genggam.

"A-apa ... apa ... apa? Kau bicara apa tadi?" tanya Solar kembali.

"Hah ... begini, Cerdas ...," kata Blaze.

"Yeh .... Belum apa-apa, langsung nyindir. Gimana sih? Iri dengki, ya, dengan kejeniusan saya ini, heh? Tapi ... harap maklumlah .... Diriku 'kan memang cerdas, setara penemu gaya gravitasi bumi. Tidak ada orang yang mampu menaklukanku? Makanya, dimunculkan berbagai isu miring terhadap saya ...," beber Solar.

"Hei ... hei ...! Solar! Kau nih, makin lama, makin ngaco, kalau ngomong! Blaze tuh bilang, rumah kita pada mau ancur. Lalu, kenapa tiba-tiba menyerempet ke persoalan kecerdasan dan negative issue?" interupsi Gempa.

"Oh ... iya, dong! Saya ini 'kan selebriti taraf internasional. Tentunya impossible-lah, jika nggak ada terpaan kayak begituan sama aku," tutur Solar, sangat percaya diri.

"Yah ... begini nih ... gini .... Orang-orang nggak punya kerja dan ngebo tiap hari .... Isi kepalanya khayalan melulu ...," sindir Hali terhadap Solar.

"Ehem ... ehem! Permisi, ya. Mohon maaf, saya merasa tersindir dan tersinggung atas pernyataan Anda yang mendiskreditkan kaum-kaum tertentu, dengan kalimat yang tidak etis dan pantas diucapkan oleh seorang tokoh publik bernama Boboiboy Halilintar," protes Ice melalui smartphone-nya Blaze.

"Hellow ... memangnya, posisi kamu apa sih? Kok berani ngatur-ngatur saya? Itu hak saya. Terserah saya, mengeluarkan kata-kata, jikalaupun itu bahasa terkasar," balas Hali.

"Hei, Hal ... kita hidup di negara berlandaskan hukum, Bung! Di sini, kedudukan Anda dan saya setara. Setiap warga negara memiliki hak untuk beraspirasi, termasuk pula mengajukan keberatan!" jelas Ice.

"Wih ...! Ada kontes debat sengit nih! Yuk, kita liput saksama acara gratis ini, Gem! Ayo ... semangat, Hali ... Ice ...! Jangan menyerah! Teruskan adu mulutnya! Uhuy ...!" sorak Solar, menyorot handycam-nya ke kakak sulungnya.

"Hush ... kamu ini! Bukan melerai, malah di-panas-panaskan! Nanti ... kalau mereka terjerumus ke masalah serius, gimana? Kita yang bakal kerepotan, Sol, nyelesai-kannya!" tegur Gempa.

"Hah .... Hal sepele gitu ... pake di-pusingin segala. Heh, Gem, aku tanya. Pihak yang terlibat dalam perselisihan, siapa?" soal Solar.

"Kak Hali dan Ice," jawab Gempa.

"Berarti, pihak yang terkena imbas negatifnya, siapa?" ujar Solar.

"Mereka berdua juga," sahut Gempa.

"Nah ...! Tuh, tau .... Simple 'kan penyelesaiannya? Saya mendari ...," cakap Solar.

"Mendari?" respon Gempa.

"Eh, salah .... Maksudku, diriku menyadari ... memang, adakalanya, problema tertentu tidak dapat terpecahkan dengan pemecahan yang mainstream dan rumit. Terlebih lagi, mengenai persoalan-persoalan bangsa yang kompleks, bervariasi, dan jumlahnya terhitung sangat banyak. Saya kira, kita memerlukan kreativitas dalam mencari jalan keluar dan memperhatikan prinsip win to win solution," terang Solar.

"Heh ... gayamu itu loh .... Kayak orang hebat aja, kalo bicara. Akan tetapi, emang harus diakui, ada yang berbeda sih. Ucapan orang hebat, mah, berbobot. Lah ... kamu, Sol? Boro-boro. Realitanya? Sebaliknya, omong kosong belaka," cela Gempa.

"Anda, ya ... tidak menghargai argumen yang saya sampaikan. Itu menunjukkan perilaku kedewasaan Anda saat ...," respon Solar.

"Pembual sedang mengibuliku lewat tipuan," celetuk Gempa, mencemooh adiknya ketujuh, Solar.

"Apa? Pembual? Jangan sembarangan Anda, ya! Cabut perkataan Anda atau saya adukan ini ke pihak berwenang?" ancam Solar.

"Ouh ... begi—" respon Gempa.

"Hoi ... kalian!" panggil pria di belakang Solar.

"Ada apa, Pak?" sahut Gempa.

"Hah ... hah ... ta—ta—tanah ... tanahnya ... jadi lumpur hisap!" ungkap pria itu, tersengal-sengal.

"Hah! Apa? Lumpur hisap?"

Bersambung ....

Fajar KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang