Episode 9 Where Are You, Now?

2.5K 482 133
                                    

Aku tidak takut jatuh, aku hanya takut sakit. Aku tidak takut gagal, aku hanya takut sendirian. Bukannya aku suka kesendirian, aku hanya tak suka bersama orang yang tak tulus.

Apa itu cinta, yang kutahu hanya ajang membuat luka. Apa itu tawa, yang kutahu cuma sandiwara penutup lara. Apa bedanya cinta dan luka, jawabannya sama. Memang cinta pernah membuat bahagia, mungkin bagi orang yang beruntung bertemu dengannya.

Bagi yang tidak beruntung, tentu saja menjadi tertolak dan merasakan patah hati.

Aku tidak takut sakit, aku hanya takut proses kesakitannya. Takut bagaimana cara menghadapinya, itu saja.

Alunan-alunan suara pelik ini terus menyibukkan gelombang otakku. Entah mereka terputar dari mana, yang jelas aku mampu mendengarkannya. Mereka menari, meliuk-liuk di alur otakku yang ruwet. Seolah berebut arah suara, saling sahut-menyahut. Ribut sendiri dan membuatku tak bisa tidur. Mataku ingin terbuka, tapi terasa lengket.

Oh, apakah aku ini sedang tertidur? Kalau dirasa, mataku memang berat dan terasa terkatup. Di mana aku tidur saat ini? Kenapa begitu lancang dan beraninya aku membaringkan badan ini. Kalau dirasakan, kedua kakiku terasa berat dan aneh. Seperti ditimpa berlapis-lapis kain entah apa.

“Bangun, Sea! Ayo ikut Mama pergi dari rumah ini!”

Sebuah suara keras yang entah muncul dari mana membuatku tersentak. Entah kenapa suara itu kali ini memaksa mataku terbuka begitu saja. Benar saja, aku berhasil membuka mata lengket ini. Menjejalkan pemahaman ke dalam otak tentang di mana posisi tubuhku berada sekarang.

Aku berbaring di atas ranjang empuk yang warnanya dominan putih abu-abu. Aroma bahan kimia menyeruak dari segala sisi. Saat aku menoleh ke kiri, ada tiang besi tinggi yang digantungi kantung plastik berisi cairan bening. Kutelusuri selang kecil itu dan ternyata masuk ke punggung tangan kiriku. Sepertinya sebuah infus dipasang di sana.

Saat kurasakan bagian lubang hidung, ada dua buah selang kecil menempel dan menimbulkan sensasi sejuk dingin. Semenit aku baru sadar kalau ini masker oksigen dari tabung tinggi di sebelah kiri ranjang.

Saat menoleh ke kanan, di atas nakas itu ada vas berisi beberapa tangkai bunga gerbera putih. Entah siapa yang meletakkannya di sana. Tunggu sebentar, aku berpikir panjang. Ada sebuah lompatan waktu yang kujalani, bukan?

Bukankah terakhir aku berada di … sebuah kecelakaan pesawat! Yah … bukankah aku sedang mengalami kecelakaan nahas di siang itu? Bukankah aku menolong penumpang dengan berdarah-darah. Apa semua itu hanya mimpi buruk?

Di mana aku berada sekarang?

Aku di rumah sakit, terbaring di atas ranjang dengan infus dan masker oksigen yang menempel. Tak hanya itu, lapisan-lapisan kain yang membalut kakiku ternyata adalah lapisan gips dan papan panjang. Seperti baru saja mengalami patah tulang atau sejenisnya.

Jadi, yang kemarin itu bukan mimpi, ‘kan? Aku tidak sedang bermimpi buruk, ‘kan? Jawabannya adalah tidak. Akulah salah satu awak kabin pesawat nahas itu. Aku salah satu korban yang juga ikut menolong para korban.

“Gimana perutku yang berdarah-darah itu?” gumamku penasaran langsung meraba-raba bagian perut.

Terasa biasa, seperti tidak pernah terluka. Aneh, sebab kemarin darah cukup banyak keluar dari sana. Rasa pedihnya saja masih kuingat utuh. Karena rasa hati makin penasaran, aku berusaha bangun ke posisi duduk.

Namun, sia-sia karena badanku terasa berat. Meski mencoba bangun, aku tetap saja gagal. Lemas sekujur badan. Akhirnya, aku kembali berbaring dan mengedarkan pandangan ke seisi kamar bernuansa putih abu-abu ini.

Rasa penasaran lain pun mulai datang ke benak. Aku sedang di mana? Sudah berapa lama aku terbaring di sini? Siapa yang merawatku selama ini? Siapa yang meletakkan bunga indah di vas itu? Bukan kenapa, kalau papa dan mama yang merawatku tidak mungkin sampai sedetail itu.

Mereka bahkan nggak tahu aku suka bunga. Bahkan, mereka nggak tahu kalau aku terbang dan mengalami musibah kecelakaan. Yaps, jadi pasti bukan mereka yang merawatku apalagi sampai sekurang kerjaan itu menyajikan bunga. Mereka tidak mungkin perhatian macam itu.

Lalu, siapa yang melakukan hal manis itu? Pihak maskapai? Ah, masa iya maskapai sebesar Sky Airlines seperhatian ini pada pegawainya? Namun, masuk akal karena aku korban dari musibah yang menimpa perusahaan. Pasti setelah ini tunjangan dari asuransi cair. Lumayan bisa masuk tabungan dan genapin uang buat beli apartemen.

Wait, jangan gagal fokus Sea! Ya, aku harus mencari tahu apa saja yang sudah terjadi. Namun, bagaimana bisa, untuk bangun saja aku tak kuat. Sepertinya harus mencari bantuan suster atau perawat. Semoga mereka masuk ke ruang ini, sebab aku tak sanggup memencet tombol di atas kepalaku itu.

“Aku harus bisa …,” gumamku penuh tekad sambil meraih-raih tombol merah di atas kepala. Biasanya ada alat kecil mirip telepon di sisi ranjang yang berfungsi untuk memanggil petugas medis kalau butuh apa-apa, sedangkan ini tidak ada.

Aku tidak menyerah, terus saja meraih-raih meski sekujur tubuhku terasa lunglai. Kedua kakiku kaku susah digerakkan karena lapisan gips. Namun, tangan ini teracung-acung menuju atas kepala dan … berhasil! Aku memencet tombol sekenanya dan semoga berdenting ke ruang suster sana.

Tersisa menanti dan menanti. Aku sudah tidak sabar bangun dan mencari semua informasi. Berapa lama aku terbaring di sini? Apa yang terjadi dengan tubuhku? Bagaimana kelanjutan berita kecelakaanku? Berapa korban yang selamat? Bagaimana nasib teman-temanku? Banyak tanya menyeruak berebut keluar dari benak.

Terasa lama, menunggu pintu itu terbuka.

Greeek! Suara roda pintu geser itu terbuka pelan. Muncul dari baliknya sosok tinggi yang membuatku melongo. Wajahku cengo saat kedua mata ini menangkap sosok yang sedang mendekat. Siapa lelaki ini, aku sangat tidak asing dengan wajahnya. Apalagi di badannya melekat seragam loreng lengkap dengan sepatu lars hitam angker.

Gavin Supadio! Batinku keras-keras meski mulutku hanya melongo kosong.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang