Episode 21 Happen for a Reason

1.9K 516 39
                                    

Ada cara termudah, tapi belum tentu yang terbaik. Kadang harus berjalan memutar, daripada menerjang petir di jalan pintas. Benar?

Percayalah semua terjadi karena suatu alasan. Hal klenik di luar nalar ini terjadi pada Sea, Gavin, dan Hana karena suatu alasan. Bagi mereka, mungkin ini ujian cinta suci dan pernikahan itu. Semua untuk menguji seberapa kuat jalinan cinta mereka saat diterpa badai masalah.

Alasan ini terjadi pada Gavin, mungkin untuk menguji rasa setianya pada Hana. Masihkah Gavin menerima Hana apa adanya saat perempuan ini tak punya ingatan apa pun termasuk cinta manis mereka. Masihkah Gavin mencintainya? Dan ternyata masih. Kesetiaan tentara ini sama seperti cintanya pada negara.

Bagiku, ini adalah kesempatan untukku merasakan kasih sayang yang sesungguhnya. Hidupku memang sempurna dengan orang tua kaya bergelimang harta. Namun, aku miskin akan kasih sayang. Tak percaya cinta dan ada lelaki yang mencintai kita setulus hati. Ternyata aku salah, lewat Gavin aku merasakan cinta.

Semua memang terjadi karena suatu alasan. Ide ngeyelku untuk pergi ke Solo memang berbuah kosong, tapi ternyata Gavin menyambungnya dengan ide masuk akal yang tak pernah terpikirkan olehku. Membuat kedatanganku ke kota ini tak percuma.

Menunggu rekanku yang datang ke kota ini memang punya perbandingan 1 : 1000, jarang dan susah. Aku paham betul maskapaiku, mereka mengacak para kru untuk tidak terbang ke kota yang sama dalam kurun waktu beberapa bulan. Dulu aku bisa terbang ke kota-kota baru dalam waktu sebulan. Itu sistem mereka.

Namun, bukan berarti aku putus asa sebelum mencoba. Telah berada di titik ini dan sayang untuk kembali tanpa hasil. Akhirnya, Gavin menyanggupinya dengan membawaku kembali ke bandara – menunggu di kursi tunggu di luar bandara. Untung saja aku bersama dengan tentara yang punya banyak koneksi, bandara ini dekat dengan pangkalan udara militer. Dia pasti punya satu dua rekan di Angkatan Udara.

Ya, terlihat dari sibuknya dia saat ini. Memegang ponsel, berbicara basa-basi dengan rekannya yang kadang berakhir dengan ucapan terima kasih. Tanda belum ada jawaban. Dia menyeruput kopi pahitnya lagi lalu sibuk menelepon lagi. Mencoba mencari jalan keluar atas idenya tadi. Sepakat bersamaku, bahwa hari ini harus berbuah hasil.

Semoga saja sejenis “kartu sakti profesi” masih berlaku saat ini. Sama sepertiku dulu, tak perlu mengantre jika ingin masuk ke bandara. Mau masuk bandara tak perlu berbaris bersama calon penumpang, aku hanya tinggal menunjukkan ID card dan mengisi presensi di komputer pusat kru. Bebas masuk untuk menunaikan tugas.

“Aku kangen kerja,” gumamku sambil menatap kosong barisan pramugari yang berjalan anggun. Mereka baru saja turun dari Hiace yang mengantarnya sambil menggeret koper berat. Mungkin dari hotel, selesai remain over night seperti itulah.

Yunita menyenggol lenganku sembari menyodorkan gelas kopi susu brand terkenal. “Minum dulu, ya, isi tenaga. Kamu nggak capek habis ngamuk tadi?”

“Makasih,” jawabku pendek tanpa menatap wajahnya. Langsung menyeruput cairan itu dari sedotan dengan mata terus menatap orang yang lalu-lalang.

“Kamu beneran bukan Hana?” senggol Yunita kembali penasaran. Tentu saja aku langsung menatapnya lekat menuju ke kedua matanya.

“Menurutmu gimana, Mbak? Apa seorang Hana punya pengetahuan semacam tadi?” Aku mempermainkan logikanya.

Yunita menggeleng kuat dengan mata sedikit takut. “Sumpah, Han. Kamu serem banget sih. Nggak nyangka, ya, amnesia bikin kamu mirip orang lain.”

“Aku memang orang lain!” sungutku mendadak kesal. Mau dijelasin model apa sepertinya mereka tak pernah percaya.

“Kamu belajar akting sekarang, Han?” cerocos Yunita setelah meredakan pandangan kagetnya.

“Mana bisa orang akting senatural aku, Mbak Yunita!” jawabku tegas sambil menekan penyebutan namanya. “Ini adalah sikap asliku, orang bernama Sea.”

“Wow, beneran kayak drama sumpah, Han!” Yunita malah terbahak kosong sambil memukul-mukul lengan sohibnya ini dengan gemas.

Tak ada gunanya aku menanggapi si Tambun ini, yang ada aku malah tambah stres. Aku melengos dan menatap ke arah kanan, masih ada Gavin yang sibuk dengan ponselnya. Kutahu dia berusaha mencari celah agar aku bisa masuk ke dalam pusat kru, meski aku juga tahu masuk ke sana tak semudah angan.

“Kasihan dia,” gumamku sambil menoleh ke arah lain. Tak tega juga melihat orang lain susah karena menolongku. Namun, hanya dia yang bisa menolongku saat ini.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang