Episode 12 Aku Sudah Bersuami

2.2K 464 90
                                    

Temans seneng mungkin ya kalau aku up dua kali, hwehehhehe. Happy Reading, My Friends ❤️
================



Selalu ada bayangan yang gelap di balik gemerlapnya bintang. Tidak ada yang yang menyangkal kalau Hana segemerlap bintang. Dia cantik, kaya, punya keluarga mapan, karier yang bagus, dan suami yang sangat mencintainya. Tak bisa dielakkan kalau Gavin adalah sosok pria idaman.

Dia tampan, berbadan bagus, punya seragam yang gagah, dan pangkat yang tinggi di usia muda. Sudah cukup memukau wanita mana saja, termasuk aku pada awalnya. Shit, aku bahkan bermimpi menikah dengan Gavin dan melaksanakan pedang pora. Semua gara-gara terlalu larut mengoprek instagram Hana.

Oh sudahlah, kalau ingat itu rasanya ingin pingsan saja. Apa karena jiwaku masuk ke tubuh Hana? Ini sungguh tidak lucu. Terlalu absurd.

Namun, kalau dipikir ulang, kehidupan Hana tidaklah segemerlap kelihatannya. Dia sembunyikan luka dan kesepian dengan elok, sehingga yang terlihat hanya indah-indahnya saja. Padahal dia serupa denganku, kesepian di tengah keramaian.

Dia harus mengorbankan banyak hal hanya karena menikah dengan Gavin. Meski Gavin keren dengan seragamnya, kurasa kehidupan mereka kudu banyak sederhananya. Kaya, tapi harus hidup prihatin adalah poin Pak Hutomo menceramahiku barusan.

Kuhela napas panjang sembari memandangi tembok kamar Hana. Banyak jejeran foto cantiknya bersama Gavin. Potret saat mereka masih sekolah dengan wajah yang masih muda dan remaja. Potret saat mereka mulai tampak dewasa dengan Gavin yang memakai seragam biru berhias banyak emblem. Keduanya tersenyum bahagia ke kamera.

Sungguh, pasangan yang serasi.

“Kamu sangat mencintai Gavin rupanya, Hana!” gumamku sambil menyentuh bingkai foto berwarna emas di atas meja riasnya.

Kupandangi isi meja rias itu. Ada jejeran rapi botol skincare merek mahal seperti Laneige, SK II, dan lainnya. Pasti ini yang membuatnya tampak bersinar dan cantik. Hana model, ‘kan? Wajar kalau perawatan wajahnya semahal ini. Aku saja yang pramugari juga pakai merek sekelas ini kok.

Mataku beralih ke ujung meja rias. Ada vas bunga berisi edelweis yang kelopaknya rontok. Di vas itu tertulis kalimat dengan tulisan yang rapi, “Longlasting for us, Honey. Gavin And Hana”.

“Wow, romantis juga, ya?” Komentarku terdengar miring, semacam iri begitulah.

Sekali lagi, aku masih enggan dengan hal yang berbau cinta dan romantis. Aku tidak percaya dunia cinta dan pernikahan. Bagiku cuma buang-buang waktu saja. Manusia bisa kok hidup sendiri tanpa pasangan. Aku saja sudah terbiasa hidup mandiri tanpa perhatian orang tua.

Aku duduk di ranjang dan mengambil sebuah boneka beruang putih yang wangi bayi. Pasti ini boneka milik Hana. Kalau ini kamarnya di rumah orang tua, pasti berisi barang-barang saat dia masih lajang. Pasti banyak kenangan Hana di ruang ini. Apa aku perlu mengoreknya juga?

Namun, buat apa? Aku tak ingin mengenal hidup tubuh ini lebih detail. Aku hanya sementara, sekedar meminjam raganya saja. Sembari berpikir bagaimana caranya kembali ke tubuhku, ya itu saja tidak lebih.

Perlahan kurebahkan tubuh ke kasur. Sebuah risol mayo tadi cukuplah mengganjal perutku. Meski masih keroncongan, tapi tak ada waktu untuk acara makan dan sejenisnya. Aku harus mulai memikirkan langkah selanjutnya. Jalan apa yang harus kuambil.

“Aku nggak nyangka akan menjalani hidup penumpangku,” desahku sambil menatap awang-awang, tempat lampu tidur bergelantungan.

Tanpa terasa perasaanku mengharu biru. Seperti biasa aku menitikkan air mata. Semua masih terlalu tak masuk akal. Biasanya aku hanya sekedar mengenal penumpang saat di penerbangan, setelah selesai ya sudah. Nah ini, aku sudah menjalani peristiwa menyakitkan bersama Hana.

Aku melihatnya terluka, menolongnya, dan bahkan sekarang masuk ke tubuhnya.

Kututup kedua mata yang basah dengan tangan. Aku terlalu lelah dengan semua ini. Entah apa dosa di masa lalu hingga aku harus menjalani hukuman seberat ini. Apa ini penebusan dosa atas ulah Papa dan Mamaku? Apa memang iya anak menanggung dosa orang tuanya?

Sea … ayo ikut Mama saja!”

Sejenak suara dramatis mama mengalun dari sudut benakku. Membuat air mataku makin deras dan panas. Bagaimana kabarnya? Apa dia masih menangis karena dipukul Papa? Apa sekarang dia sedang menangisi tubuhku yang sedang terbaring koma? Atau malah menangisi kuburanku?

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang