Episode 10 Tentang Lelaki Itu

2.4K 457 56
                                    

Lelaki tinggi dengan mata yang indah, seperti itu gambaran sosok Gavin Supadio di mataku. Namun, saat bertemu dengannya yang kulihat hanyalah mata sedih dengan dahi yang mengernyit. Pria itu lebih sering terjatuh dalam lamunan, tercenung, terdiam, menopang dagu, bahkan kadang matanya memerah karena menahan air mata.

Dia adalah lelaki tinggi bermata sedih.

Senyumnya jarang terbit. Saat semua orang di sini berharap penuh pada kesembuhan tubuh ini, dia hanya diam tak berkomentar. Meski dia selalu turun tangan dalam setiap pemberontakanku, tapi selanjutnya dia lebih banyak membiarkanku sendiri.

Tangannya yang kokoh itu ternyata hangat. Kemarin-kemarin aku hanya bisa memandangnya lewat layar ponsel, tangannya yang menggandeng mesra tubuh Hana. Beberapa jam yang lalu kurasakan saat dia memelukku dari belakang, disertai bisikan lembut itu. Hatiku bak disapu ombak samudera.

Namun, sorot matanya dingin saat memandangku sekarang. Di ambang pintu kamar rumah sakit, dia bersandar sambil memeluk tangan ke dada. Seolah ragu hendak masuk atau tidak saat aku menatap bulan dari jendela.

Susah payah aku meminta suster untuk melepas ikatan di tanganku. Miris, setelah dibius aku diikat agar tak berbuat onar. Merasa tak ingin terus jadi pesakitan, aku meratap iba pada suster. Akhirnya bujukanku pada suster mempan. Aku dibiarkan duduk di kursi roda dan sekarang berada di tepi jendela lebar untuk memandang bulan yang bulat.

Aku suka bulan purnama, apalagi kala melihatnya dari jendela kokpit pesawat saat penerbangan malam. Aku merindukan pekerjaanku, tapi semua takkan lagi sama sekarang. Sama seperti situasiku, sekarang aku bukanlah pramugari tapi istri dari lelaki itu.

Kadang, aku meliriknya yang masih memandangku dari ambang pintu yang setengah tertutup. Kemudian aku menunduk dan memandang bulan lagi. Jujur, aku bingung harus bersikap apa untuk menghadapi lelaki itu. Dia suami pemilik tubuh ini, tapi bukan milikku.

Tiba-tiba, kaki panjangnya itu melangkah tegas menuju arahku. Tentu saja hatiku berdetak keras membayangkan adegan apa yang akan terjadi. Aku tak mau berkontak fisik dan sejenisnya. Tentu saja tidak nyaman.

“Pergi!” usirku sambil mengubah letak kursi roda lebih memunggunginya.

“Tenanglah,” ucapnya tenang sambil memburu wajahku, “aku nggak gigit kok!” imbuhnya dengan wajah meyakinkan.

Gavin bersimpuh di depan lututku dengan pandangan buram tak jelas, kemudian tangan jenjang itu menyentuh dengkul kurus ini. “Izinkan Abang di sini, dua menit saja!” pintanya kalem.

Kuredakan napas yang cepat ini dengan menunduk. Menenggelamkan seluruh mukaku menatap pangkuan, tak mau saling berpandang. Namun, tanpa sempat berontak dia tiba-tiba memelukku. Gavin merengkuhku dengan kedua tangan jenjang hangatnya itu. Pun hanya bungkam, saat dia membasahi pundakku dengan air hangat dari kedua bola matanya. Terperangah dengan tindakan anehnya.

Pria bertangan kuat ini menangis tanpa suara, hanya air mata nan deras.

“Kk – kenap – kenapa …?” tanyaku terbata-bata sambil mendorong kecil tubuh tingginya.

Dia terduduk di lantai karena posisinya terlalu lemah. Namun, pelukan itu kembali mampir. Kali ini malah bertambah kuat seperti gurita. “Lepasin!” rontaku setengah membentak.

Gavin memandangku tajam. Mulutnya yang tipis itu setengah terbuka. Matanya yang membasah berubah menjadi sorot yang tajam. Lelaki itu meraih tanganku untuk dipukulkan pada tubuhnya, tentu aku menolak keras tindakan konyolnya itu. “Pukul saja Abang! Pukul! Tiga minggu Abang menunggumu bangun. Tiga minggu Abang menahan-nahan kesedihan, berusaha kuat untukmu. Namun … nyatanya …,”

“Kamu bangun dan melupakan Abang, Hana …,” desahnya hancur. Kulihat pandangan tajamnya berubah nanar. Gavin menunduk dengan bibir gemetar. Kalimat yang terputus-putus saking emosionalnya.

“Aku nggak bisa terima kenyataan!” kata Gavin keras sambil memandangku sedih.

Mulut ini hanya bisa menganga heran mendengar semua kalimatnya. Jika dinalar, sikapnya menandaskan kecewa mendalam. Tiga minggu dia terlarut dalam kebimbangan dan kecemasan tinggi karena menunggu Hana sadar. Dan jawabannya mengecewakan, sekarang Hana malah bertukar jiwa dengan orang lain. Sebut saja aku. Mungkin, karena aku juga belum tahu di mana tubuhku berada hingga tak bisa memastikan praduga.

Dia pasti kecewa dengan diri sendiri. Sepertinya sebelum mereka berpisah saat itu, sebuah kejadian menyakitkan baru saja terjadi. Dilengkapi dengan ujaran dari lisan tipisnya itu.

“Andai saja Abang tahu akhirnya seperti ini, lebih baik kita pergi berdua saja saat itu, Hana,” sesalnya seperti bicara sendiri.

“Maksudnya …?” sambungku berusaha menggali informasi. Tanpa sadar kupandang serius wajahnya.

Dia pun balik memandangku kacau. “Benarkah kamu amnesia, Hana? Benarkah kamu melupakan Abang?” tanyanya seolah tuli dengan pertanyaanku.

Sepertinya dia lebih banyak bicara sendiri. Membuatku makin kesal saja. Kubuang muka ke atas awang-awang sambil berdecak kecewa. “Pergi saja daripada membuat saya bingung, Pak!”

“Hana!” Gavin memandangku tegas, “jangan bertingkah seaneh ini, please! Kalau kamu membenciku, bilang saja. Jangan membuat kami cemas, aku nggak mau kamu begini, Sayang ….”

Gavin memberiku rayuan manis diselingi dengan sebuah sentuhan di tangan. Tentu saja aku tak suka.

“Lepasin!” larangku, “jangan menyentuhku, Pak! Saya bukan Hana, saya Sea!” ulangku mirip orang gila.

Sebab berontak dan berkata seperti ini hanya akan menambah kesan bahwa aku tak waras. Benar saja, Gavin menatapku makin remeh.

“Sayang, sikapmu ini sangat kekanakan. Kamu menonton drama mana lagi, hem?” Suaranya rendah dan berubah lembut. “Kita baikan saja, okay? Abang minta maaf sudah memarahimu saat itu. Anggap kita impas. Tidak perlu lagi berpura-pura seperti ini. Kasihan Papa dan Mama, Sayang.”

Bujukannya bak ujaran kebodohan bagiku. Tentu saja, bagaimana bisa dia menganggapku sedang bersandiwara. Ya, baik, memang aku seperti sedang halusinasi. Bagi lelaki tinggi bermata sedih ini, aku hanya sedang berpura-pura amnesia. Namun, bagiku tidak. Aku sadar penuh bahwa sedang terjebak di tubuh ini.

“Bagaimana membuat Bapak percaya bahwa saya itu bukan Hana. Saya orang lain yang terjebak di tubuh ini. Kami mengalami kecelakaan yang sama,” ujarku dengan suara parau.

“Apa sebegitu marah dan bencinya kamu sama Abang? Sampai-sampai kamu ingin meninggalkan Abang dengan cara seperti ini?” tanggapnya seperti orang bodoh.

Aku menunduk lemas seraya meremas kedua pegangan kursi roda. “Bapak pergi saja!” usirku karena merasa tak perlu membicarakan apa pun lagi. Sebab semua terasa tak berguna.

“Apa kamu semarah itu, Sayang?” bujuknya yang kali ini sambil merengkuh kedua lututku. Pandangan kami bertemu, mata sedihnya sangat indah dengan iris berwarna cokelat.

Panas dingin badan ini merasakan semua sentuhan itu. Aku tak pernah disentuh lawan jenis saat jadi Sea, tak pernah dapat perlakuan semanis ini. Ternyata rasanya seindah ini, ya, meski sedikit memalukan. “Per – pergi … pergi saja!” suruhku lirih dengan suara terbata. Menahan gemuruh aneh di hati kecilku.

Gavin menarik napas panjang. Sepertinya dia mulai menyerah berusaha membujukku. Sejak awal dia memang terlihat tidak mau terlalu menekanku. Sudah kubilang, lelaki ini punya rasa sayang yang tinggi pada Hana. Pasti tak mau melihat Hana terlalu terluka.

Lelaki itu melepas tangannya, lalu berdiri tegap dan menarik kaosnya lebih rapi. Dia memandangku dengan mata sedih nan indah itu. “Baik, sepertinya percuma menekanmu saat ini, Hana. Abang harus sabar, mungkin ini memang hukuman bagiku. Istirahatlah.”

Syukurlah, dia terlalu cepat menyerah. Aku pun urung membuka identitas yang sebenarnya. Andai saja dia bisa kupercaya untuk berkata jujur, mungkin aku punya solusi dari masalah aneh ini.

Namun, tekad gila ini terlalu kuat untuk meminta pertolongan darinya. Saat dia hendak beranjak ke luar ruangan, aku menahannya dengan sebuah pertanyaan. “Bisakah Bapak membantu saya?”

“Abang tidak mau mendengar kalimat apa pun darimu, Hana. Istirahatlah agar cepat pulih. Aku hanya ingin Hanaku yang dulu,” jawabnya yang memupuskan harapku.

“Tap – tapi …,” selaku yang dipotong duluan olehnya.

“Abang hanya akan membantumu untuk ingat bagaimana Hana, bukan kengawuran yang lain!” pungkasnya sambil berlalu.

Pria tinggi bertubuh wangi itu hanya ingin Hana yang dulu. Bagaimana aku bisa mengabulkan inginnya, jika aku sendiri saja tak tahu bagaimana menjadi Hana. Memang percuma mengulang kalimat yang terdengar gila, “aku Sea bukan Hana”, saat semua manusia memandangku sebagai Hana.

Dan lagi aku terlarut dalam kebimbangan taraf tinggi. Entah bagaimana esok aku menjalani hari. Memang bisa, ya, aku berubah jadi orang lain dengan cara seperti ini?

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang