Episode 34 How Are You?

2.6K 572 78
                                    

Jadi, haruskah aku menemuimu besok? Terjawab saat kakiku melangkah masuk ke sebuah restoran jawa di pusat kota Jakarta. Aku menuruti ajakannya datang ke tempat ini, bukan untuk melepas rindu. Aku hanya ingin berbincang dengannya sebagai Sea, benar-benar sebagai Sea.

Banyak yang ingin kubincangkan dengannya. Bagaimana kabarnya, kabar Mbak Hana, kabar keluarganya, dan lain-lain. Tanpa berani memikirkan hal lain, itu lancang, ya perasaan lancang itulah. Tidak ada niatan untuk bersikap ke sana. Jujur, aku hanya ingin menjadi teman.

Maka, kuberi dia senyum ramah selayaknya teman saat memandang Pak Gavin duduk di tepi jendela. Dia memangku tangan ke atas meja, di badan tegapnya masih ada seragam loreng kebanggaannya. Wajahnya yang datar itu seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Selamat siang, Pak," sapaku yang membuatnya menoleh.

Kuulurkan tangan jenjang ini berniat menyalaminya. Untuk sekedar berkontak seperti ini boleh, 'kan? "Apa kabar, Pak?"

"Hai, Sea!" balasnya tanpa menanggapi tanyaku. Panggilan itu masih bernada sama, mampu menggetarkan hatiku yang berani.

Aku duduk dan meletakkan tas panjang ke atas meja. "Maaf sudah membuat Bapak menunggu lama."

Dia menggeleng kuat. "Aku aja yang datangnya kecepatan. Mau makan apa?" tawarnya santai sembari membuka buku menu.

Aku celingukan sembari menggaruk sisi kepala. Salah tingkah dan masih tetap sama, tidak suka makanan tradisional meski berusaha menyukainya. "Masih tidak suka makanan asli Indonesia?" selidiknya seperti membaca isi otakku.

"Begitulah," ucapku tersipu malu, lalu mendongak lagi. "Tapi saya udah suka bubur ayam dan nasi uduk kok."

"Oh," dia membulatkan mulutnya lega. Lalu kami tersenyum lagi. Meski akrab, masih tersisa atmosfer kaku. Apalagi dia sendirian.

"Mbak Hana ... di mana, Pak?" tanyaku ragu sembari menatap kursi kosong di sebelahnya.

Gavin yang sedang meminum air putih terlihat hampir tersedak. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat seperti dicekik. "Eng ... eh ...," dia menunduk bingung.

"Apa Mbak Hana sibuk?" sambungku menebak-nebak situasi.

"Begitulah," ceplosnya pendek.

"Apa tidak masalah kita bertemu seperti ini? Apa dia tahu?" berondongku memastikan keamanan. Tidak mau ada masalah muncul di kemudian hari.

Gavin menggeleng kuat. "Seharusnya tidak masalah," lalu mencebikkan bibirnya santai.

"Kok jawabannya gitu?" tanggapku gantung.

Sayangnya, dia hanya menjawabnya dengan sebuah pandangan yang tak dapat diartikan. Kedatangan pelayan untuk mencatat pesanan kami juga membuyarkan semuanya. Akhirnya, aku hanya bisa memendam semua dengan penuh tanya. Berharap semua baik saja, tak ada masalah seperti yang dia katakan.

Nasi kuning lengkap dengan lauk, lalapan ikan gurame, dan dua gelas es teh baru saja datang. Masih hangat dan siap santap. Namun, selera makanku bukan yang terpenting saat ini. Meski pria bermata sedih itu malah makan dengan nikmatnya. Setelah mempersilakanku makan, dia makan dengan lahap seolah hanya lalapan itu harta miliknya.

Sama seperti dulu, aku masih ingat saat pertama dia mengajakku makan di saung itu. Terkesima melihat caranya makan, aku takjub pada rasa syukurnya itu.

"Dimakan, Se!" tegurnya yang membuatku gelagapan. Kontan menurunkan pandangan karena ingat dosa – memandang suami orang – itu salah besar.

"I – iya, terima ... kasih," jawabku terbata-bata. Aku yang sedang memakai dress denim selutut lengan pendek ini berusaha melahap makanan di depanku ini. Entah masuk selera atau tidak, aku hanya ingin menghargainya.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang