Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu

2.3K 514 50
                                    

Sea Rose POV

Mungkin hari ini menjadi hari yang takkan kulupa sepanjang hayat, setelah hari inagurasi sebagai pramugari. Aku kamping di hutan di sebuah kabin modern, makan bersama keluarga bahagia, bertengkar dengan iparnya Hana, mencoba makanan ala tentara, dan sekarang malah sekamar dengan tentara.

Baik, ini bukan kali pertama kami terkunci di ruang yang sama. Pagi itu, aku pernah terbangun di pelukannya. Dalam artinya, kami telah tidur bersama semalaman. Meski suasana berbeda, rasanya tetap sama, berdebar dan menggundahkan hati. Apa yang akan kami lakukan sekarang?

Pikiran liarku telah lancang membayangkan semacam pertukaran badan atau sejenisnya. Mungkin dia juga akan mencuri satu dua kecupan dari tubuh istrinya ini. Sudahlah, hawa yang dingin dan suasana yang sepi mendukung situasi itu, 'kan? Setop, jangan pikirkan itu lagi, kumohon!

"Hai, Sea, kamu nggak apa-apa?" Gavin mengibaskan tangannya ke depan wajah istrinya ini. Seketika mengembalikan kewarasan otakku.

"Eng ... iyy – iya, Pak. Bapak mau tidur? Silakan pakai saja ranjangnya, saya pakai selimutnya saja untuk di bawah," ucapku gelagapan, menarik cepat bed cover tebal dan menaruhnya di atas lantai dengan mata yang masih tertuju padanya. Sibuk sendiri.

"Hei, kamu yakin akan menghabiskan waktu hanya untuk tidur? Aku masih mempercayaimu sebagai Sea lho, kamu tidak ingin jadi diri sendiri dulu?" Pertanyaan Gavin menggugah kebodohanku.

Kutepuk jidat pelan. "Oh, ya. Maaf, Pak. Lalu kita harus apa?" tanyaku risau.

Gavin berjalan pelan menuju jendela lebar. Dia memencet sebuah tombol yang membuat kaca putih itu berubah menjadi bening, otomatis dan canggih. Kaca bening itu menampakkan pemandangan yang luar biasa. Kerlip lampu-lampu di kaki gunung yang kontras dengan kegelapan malam, dan lagi pemandangan langit dini hari yang penuh bintang. Terlalu sayang untuk dilewatkan memang.

"Berbincang sembari melihat bintang?" tawar Gavin menunjuk dua buah bangku kayu dan meja ambalan yang menempel ke dinding.

Aku mendatangi jendela karena malah fokus pada pemandangan menakjubkan di depan mata ini. "Wow, langitnya mirip dengan di pesawat. Saat penerbangan malam, aku tidak tidur dan suka memandang langit. Saat pesawat descent ketinggian juga berubah, dan langitnya mirip dengan ini."

"Bicaramu sudah seperti pramugari," tanggap Gavin pendek sambil duduk dan menegak sebotol air mineral. Sepertinya dia juga gugup karena terus memasukkan cairan ke perutnya.

"Memang," tukasku pendek seraya menyusulnya duduk.

Kami menarik napas panjang berbarengan. Mungkin karena cemas atau sedang berpikir hendak membicarakan apa. Alurnya terasa lambat dan bertele-tele, mungkin karena terlalu banyak tanya yang ingin keluar. "Ternyata Sea itu bisa ngambek juga, ya?" buka Gavin sambil melipat tangannya ke atas ambalan.

"Bisalah, Pak. Aku manusia biasa, memangnya Hana kayak putri salju," balasku santai yang membuatnya tertawa. Nuansa kami mulai akrab kayaknya.

"Istriku memang semanis itu. Lebih suka diam daripada protes atau melawan. Sayang waktu hari nahas itu, dia sedang melawanku," kenang Gavin sembari menatap kosong.

"Sama, di pesawat kami juga sempat berdebat. Parahnya, saat pesawat turbulensi hebat pula. Kesanku berubah pada Mbak Hana, aku kesal dan tidak lagi mengidolakannya," kataku jujur.

"Jangan, Sea!" larang Gavin yang membuatku melirik wajah cemasnya. "Dia bukan idola, hanya wanita biasa yang penuh kekurangan," jelasnya kemudian.

"Aku sering menceramahinya, tidak perlu terlalu sempurna. Aku pun sudah mencintainya, sangat," imbuh Gavin yang sanggup membuat hatiku hangat.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang