Episode 13 Adegan di Kubah Bunga

2K 418 46
                                    

Seringkali manusia menutup matanya tatkala menemui kebuntuan. Itulah hal normal yang sering kulakukan termasuk sekarang. Sebagai pramugari, aku banyak menemui banyak kesulitan. Dari kesulitan menghapal banyak istilah asing hingga kesulitan menghadapi penumpang. Kadang semua membuat otakku buntu.

Saat mata terpejam, otak terasa lebih luas dan tajam. Aku bisa sedikit lebih cerdas menghadapi situasi setelah memejamkan mata beberapa menit. Termasuk untuk menoleransi situasi saat ini, di mana aku harus memakai baju ala Hana setelah menyelesaikan ritual mandi yang ribet ala Hana pula.

Kubuka mata dan tetap pada keputusan, menjalani semua keanehan karena ini hidupnya Hana.

Gaya andalannya adalah feminim. Terbukti dari isi lemarinya yang kebanyakan gaun-gaun. Kali ini kupakai gaun merah muda sifon panjang selutut beraksen renda di bawahnya berpadu dengan sandal rumahan yang tergolong berat untuk jadi sandal santai. Mungkin karena tambahan manik-manik berkilau di atasnya. Sandal kerjaku lebih nyaman dibanding sandal ala Hana ini. Ya sudahlah.

Beralih ke rambut panjang yang susah diatur ini. Mereka harus digerai, tidak boleh diikat atau digelung. Ambu sampai kehebohan melarang tanganku saat hendak menggelungnya ala croissant pramugari. Kebayang betapa gerahnya beraktivitas dengan rambut yang seperti ini.

Sekali lagi, toleransi sudah biasa kukerjakan saat menjadi pramugari dulu. Sekarang apa susahnya? Ya susah, aku sedang tidak berada di tubuhku dan itu makin tidak dipernyaman dengan harus menerima keadaan ini. Obsesi Hana yang selalu ingin tampil cantik nggak masuk ke konsepku.

Andai saja bisa mengatur semua, aku sudah mendandani tubuh ini sesuka hati. Kalau di rumah cukup pakai celana kain kedodoran dipadu kaos oblong. Rambut dicepol dan riasan tipis saja. Tidak perlu berdandan secantik ini apalagi jika hanya harus duduk manis di rumah kaca bebungaan seperti ini.

“Kurang kerjaan,” sindirku ironi pada diri sendiri. Sesekali sambil mengedarkan mata ke sekeliling kubah kecil ini. Di dalam kubah ini hidup banyak bunga yang berbunga indah. Aku tidak tahu namanya, yang jelas mereka berwarna-warni dan wangi.

Kukedikkan bahu letih, terasa gerah meski sirkulasi angin cukup sejuk. Pasti gara-gara rambut ini, maka dengan kasar kugelung rambut panjang ini pakai karet rambut seadanya. Rambut panjangnya menghalangi angin menyentuh kulit. Mungkin juga karena dua lapis krim perawatan kulit milik Hana mulai bereaksi. Nggak enak bertingkah sempurna macam boneka Barbie saat aku lebih cocok jadi boneka Barney.

Saat sedang asyik menelusuri sebuah bunga kecil berkelopak lima berwarna biru keunguan, sebuah suara memecah dari belakang. Sontak aku menoleh dan mulut ini menganga melihat siapa yang datang. Pria tinggi bermata sedih itu mendekatiku sambil membawa nampan. Isinya makanan, entah apa. Entah mau apa.

Dengan percaya diri, dia duduk di bench kayu warna putih dan mengikuti gerak mataku yang tadinya memandang sekeliling kubah bunga ini. Punggungnya bersandar dan kedua tangannya dilebarkan di punggung bench dengan santai. “Flower Dome, itu nama tempat ini. Kamu yang kasih nama terinspirasi tempat wisata di Singapura,” bebernya pelan lalu menatapku lurus.

“Oh,” tukasku pendek tanpa sengaja menampik kelopak bunga ungu, “bagus.”

Dia menunjuk tempat kosong di sebelahnya dengan dagu belah itu. “Waktunya kamu makan!” suruhnya pelan.

“Oke,” tanpa banyak melawan, aku menurut duduk di sebelahnya. Aku pun hanya menurut saat dia memberikan nampan berisi semangkok bubur berwarna oranye. Miris, aku bukan orang sakit yang harus makan bubur sepanjang waktu.

“Ck, nggak apa makanan lain?” gumamku lirih.

“Apa?” sambutnya sambil memiringkan wajah. Mendekatkan telinganya ke mulutku.

Seketika aku menjauh beberapa senti karena aroma tubuh enaknya itu bisa membuatku berdesir. “Enggak, saya cuma bicara sendiri.”

“Kamu bisa makan, ‘kan?” tanyanya perhatian yang kubalas anggukan yakin.

Dia kembali terdiam dan mengalihkan pandangan ke arah bunga yang kusentuh tadi. “Forget me not, kecil dan cantik.”

“Hah?” ceplosku tolol.

Dia menegaskan matanya dan menatapku lekat. “Bunga yang kamu sentuh bernama forget me not. Bunga itu adalah favorit Putri Diana. Bunga yang sangat sulit tumbuh di Indonesia. Jenisnya biennal, tanaman yang akan berbunga dan kemudian mati di tahun selanjutnya. Jadi, bunga ini harus ditanam di waktu yang khusus.”

Dia terus berceloteh karena aku diam dan melongo. Hanya sedang mencerna kalimat demi kalimatnya saja sih. Pria wangi ini pria berbunga gitukah, maksudku dia suka dunia bunga? Bukannya dia tentara, ya?

“Bunga ini membutuhkan pencahayaan yang baik, tanahnya harus gembur. Makanya dia nggak suka sinar matahari sepanjang hari. Itulah kenapa letaknya di dome ini.” Gavin memangkas penjelasannya lalu menatapku yang sedang melongo.

Dengan senyum tipis dia mengatupkan kedua bibir ini dengan tangan. “Kenapa kamu heran? Kamu yang kasih tahu aku semua itu, Hana. Kamu penyuka bunga ini meski aku lebih suka memberi mawar.”

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang