Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku

3.1K 598 237
                                    

Berhari-hari aku larut dalam kehancuran sampai tidak enak makan. Seperti kehilangan sahabat baik meski tak pernah mengenal dia sejak lama. Mungkin karena kami pernah satu badan, pikiran kami pun pernah satu. Bahkan, kami mencintai satu pria yang sama. Bisa dibilang sekarang aku teramat sangat kehilangan Hana.

Namun, hari ini setelah sepekan kami berpisah, Gavin kembali mengajakku bertemu. Dalam seminggu ini dia intens menghubungiku. Sekedar mengajak ngobrol atau menanyakan aktivitasku. Selayaknya teman, Gavin sangat peduli pada apa saja yang kulakukan.

Membuatku mulai bertanya-tanya, apa perhatiannya ini halal untuk kunikmati?

Di suatu sisi, dia masih suami orang, meski Hana telah pergi selamanya. Di sisi lain, cinta di hatiku kian membara. Miris, tapi aku tak bisa mengikis rasa terlarang itu. Setiap nada suaranya membuatku mabuk. Aku semakin menyukai pria yang ingin jadi temanku itu.

"Lupakan dia, Sea!" gumamku sembari mematut badan ramping di pantulan kaca.

Telah rapi dalam balutan maxi dress sifon warna peach, gayaku mirip Hana. Sejak menyelami hidupnya dua tahun lalu, aku ikut nyaman memakai baju-baju feminim. Nyaman saja pakai baju yang anggun seperti ini, seperti putri dari keluarga baik-baik. Setelah nyaman bersepatu flat warna krem, aku melangkah keluar dari kamar apartemen.

Berjalan cepat, turun memakai lift ke basement. Menemui pria berkaos Polo warna krem dengan celana jins yang sedang bersandar diam di sebelah front desk. Kubentuk sebuah senyuman untuk menemui pria bermata sedih ini. "Pagi, Pak!"

Dia menoleh cepat dan mengulurkan tangannya untuk menyalamiku. Mungkin seperti ini cara berteman dengannya, bersalaman saat bertemu. "Pagi, Sea!" Senyumnya tak ketinggalan.

"Sudah kubilang panggil 'Abang'!" pintanya setengah mengomel.

Aku menunduk malu-malu sembari memelintir tali tas penuh salah tingkah. "Eng ... bolehkah, P – Pak?"

"Hei," Gavin mengangkat daguku lembut. "Ada uang jatuh atau apa? Kamu mau lihat aku ngomel?"

Aku menggeleng pelan lalu berusaha menatapnya percaya diri. "Bagaimana caranya Abang bangkit setelah ditabrak badai seperti ini?"

Gavin menatap langit pagi yang sedikit mendung karena musim hujan baru saja datang menemui kami. "Caranya, jangan menatap ke arah badai! Tataplah matahari, rasakan angin dinginnya, dan yakinkan bahwa kamu masih hidup. Kamu baik-baik saja, selesai!"

"Sesimpel itu?"

"Ya," Gavin mengangguk kuat sembari menuntunku menuju mobilnya. "Masa-masa sulit itu sudah berlalu, Sea. Aku sudah menghabiskan kesepian seorang diri, sekarang hanya tinggal menjalani sisa hidupku bersama teman yang peduli."

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku malu karena mata tajam itu tak pernah lepas dari mataku.

"Senang bertemu denganmu lagi, Sea. Kamu masih peduli denganku meski pertemuan kita aneh," ucapnya sembari menutup pelan pintu mobilnya.

Hatiku penuh debar saat melihatnya berjalan menuju ruang kemudi di sebelahku. Percakapan model apa yang akan kami habiskan sebentar lagi? Apa yang akan kubicarakan dengan duda sepertinya? Aku takut salah ucap meski dia terlihat santai sekali.

"Memang aku kelihatan peduli, ya, Pak?" ujarku lantas meralat, "Bang."

"Kamu mau ikut denganku hari ini saja itu sudah bentuk peduli." Gavin menyalakan mesin mobil. "Makasih, Sea, kamu udah mau ke Bandung bertemu dengan orang tua Hana."

"Aku merasa perlu tahu kabar mereka. Dengan tubuhku sendiri," jawabku datar.

Gavin tak menjawab dan hanya mengerem mobilnya. Sontak membuatku bingung karena pria ini sekarang menatapku lekat. Gerakan tubuhnya mulai condong padaku, tidak tahu mau apa. Tangan jenjang itu melintasi tubuhku dengan halus, menarik seatbelt untuk menahan tubuhku. Aku lupa memakai benda keselamatan ini.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang