Ditulis supaya manusia berani buat menolak sesuatu yang nggak mereka kehendaki.***

Setiap hari aku berdoa agar diberikan umur panjang. Semacam permintaan mengulur waktu agar aku punya kesempatan meminta maaf kepada Tante Fen karena terlalu sering merutuk di belakangnya, juga sempat beberapa kali mengenakan pakaian Mima diam-diam untuk pergi keluar bersama teman. Sumpah, aku benar akan mengajukan permintaan maaf besar-besaran bila diberikan cukup kesempatan untuk mengumpulkan keberanian.
Masalahnya sekarang, di detik ini, menit ini, jam ini, nyaliku masih seujung kuku dan hidup matiku sudah dipertaruhkan. Tidak. Tidak. Ini tidak seperti aku sedang diculik lalu sebilah pisau dihadapkan di depan leherku. Aku juga tidak terlibat kecelakaan besar yang membuatku harus segera dilarikan ke rumah sakit—uh, mungkin, kalau saja apa yang kutahan saat ini tidak berpengaruh buruk.
Maksudku, ada beberapa alasan yang bisa mengancam nyawamu, namun tidak berurusan dengan kejahatan atau suatu kecelakaan. Bisa saja tubuhmu tiba-tiba panas dingin dan kakimu tidak terasa menapak di tanah hanya karena seonggok kotoran meronta-ronta ingin keluar dari sela-sela bokong... benar, aku harus ke kamar mandi, aku harus menuntaskan hasrat ingin buang air besar, aku—setidaknya jika ingin kewarasanku kembali—harus mengenyahkan rasa sembelit yang menyiksa ini. Sekarang juga!
"Ya ampun, Pak Kepala Sekolah ngomongin apa, sih? Lama banget, bisa gosong kita kena terik matahari!"
Jiana tidak sopan, aku tahu itu. Tetapi, hari ini aku setuju dengan omongannya. Upacara sudah berlangsung selama dua jam, bisa lebih lama lagi bila sesi ceramah tidak segera diakhiri. Dengan pembahasan yang sama setiap minggu, pastinya murid-murid Pelita sudah paham betapa kami harus rajin membayar SPP dan aktif mengikuti acara sekolah. Tidak perlu diulang-ulang terus. Kecuali ada informasi penting yang mengharuskan kami berdiri menahan panas, haus, dan rasa ingin kencing—atau untuk kasusku, kamu tahu sendiri. Lagi pula, rangkaian upacara ini tinggal menunggu pembubaran, kalau saja kepala sekolah berbaik hati mengizinkan pemimpin upacara melakukannya. Sayangnya, beliau belum ingin.
"Lui."
"Y-ya?" Aku menjawab panggilan Jiana dengan terbata-bata. Bernapas saja rasanya sulit, apalagi berbicara. Aku juga sudah tidak tahu bagaimana keadaan sekeliling. Sedari tadi, mataku hanya tertuju ke arah kamar mandi. Di lapangan sekolah kami yang tidak luas-luas amat ini, terdapat satu kamar mandi di belakang balai tempat guru-guru dan kepala sekolah berdiri terlindung dari sinar matahari.
Jiana terlihat ingin membicarakan sesuatu, namun mengerutkan dahi begitu melihatku. "Wajahmu pucet banget. Sakit?"
Mengaku kebelet buang air besar di hadapan seorang Jiana sama saja menggali lubang kematianku sendiri. Cewek itu pasti akan langsung berbisik memberi tahu yang lain. Apalagi dengan posisi kami berdiri bersebelahan begini. Tidak menutup kemungkinan, kabar aku mengentut dan mengeluarkan bau super busuk turut ditambahkannya dalam narasi. "Aku baik-baik aja, cuma... kepanasan."
"Masa?"
Jiana terang-terangan memindai tubuhku dari atas sampai bawah. Aku yang memegangi perut dan melilitkan kaki langsung menegakkan tubuh. Tindak tanduk kebeletku ini tidak boleh tercium olehnya. Memang meribetkan diri. Kebelet bukan kejahatan. Bukan pula sebuah aib. Tinggal mengaku saja. Namun, kamu akan mengerti betapa krusialnya permasalahan ini bila pernah menemukan seorang teman yang suka jahil soal urusan buang airmu. Jiana masuk dalam golongan itu.
"OK." Jiana mengangkat bahu, tidak tertarik memastikan atau sekadar memanggil petugas PMR untuk mengecek apakah aku benar baik-baik saja. Tipikalnya. Apa pun itu, aku bersyukur atas ketidakpeduliannya saat ini. Lebih daripada itu, tujuannya berbicara denganku memang bukan untuk melimpahkan perhatian. "Selesai upacara temani aku ke ruang guru, ya. Kata Miss Nuki, aku belum ngumpulin tugas pertemuan ketiga. Jadi, kayaknya aku mau diomelin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cannon Fodder
General Fiction[stop being a people pleaser!] Lui berkorban dalam banyak hal. Layaknya ciri-ciri pemerintah yang hanya terjabar di buku PPKN; Lui mengenyampingkan urusan pribadi dan selalu mengutamakan kepentingan umum. Seperti ketika satu kelas tidak bisa menjawa...