BAB 4 : Keegoisan Manusia

118 30 2
                                    

Mudah buat mengatakan tolak saja kalau nggak nyaman atau jangan terlalu membebani diri, bicara saja sesuai yang kamu rasakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mudah buat mengatakan tolak saja kalau nggak nyaman atau jangan terlalu membebani diri, bicara saja sesuai yang kamu rasakan.

Namun begitu tiba di lapangan, sesuatu yang mudah bisa jadi kesulitan terbesar bagi sebagian orang. Aku tahu ini cuma masalah sepele. Hanya perkara aku tidak bisa tegas dengan diriku sendiri. Seperti... alih-alih menuruti kata hati, aku justru mengiakan permintaan mereka untuk maju mengerjakan soal saat aku tahu kapasitas otakku tak mendukung. Sedangkan aku bukan murid yang cerdas. Selama ini aku cuma berusaha menjadi rajin. Banyak kesalahan yang kulakukan ketika ditunjuk menjawab soal. Mereka mengetahui itu. Tetapi bagi mereka, melemparkan aku yang tidak tahu apa-apa lebih baik ketimbang tidak ada yang maju sama sekali.

Pada akhirnya, aku juga yang harus menelan omelan bila usaha yang kukerahkan tidak sesuai harapan para guru. Lalu saat aku kembali menemui teman-teman yang kudapat tak jauh dari omongan serupa, "seharusnya kamu bilang kalau kamu nggak bisa, Lu." Betul, seharusnya memang begitu. Lantas ini salah siapa? Salah mereka yang berharap padaku atau salahku yang tidak bisa diandalkan? Barangkali pilihan kedua benar. Seharusnya aku belajar lebih keras. Seharusnya aku berusaha melampaui kapasitas. Seharusnya aku tidak mengecewakan teman-teman.

Aku berjerih payah mencari kesalahan mereka, namun yang kutemukan hanya kesalahan-kesalahanku sendiri.

Ini menyiksa.

Dan aku tidak tahu harus jujur pada siapa.

"Lui?"

Jentikan jari Mima menarikku kembali dari lamunan. Aku mengerjap, memindahkan tatapan ke langit, kulihat awan belum berubah gelap. Sementara posisiku tetap sama: terduduk di matras dengan kedua tangan di belakang kepala dan satu kaki naik menyentuh hingga siku bagian kanan. Sudah berapa lama posisi yogaku seperti ini? Lima menit? Sepuluh menit?

"Luisha!"

Rasanya aku belum benar-benar menapak di bumi, sampai Mima mendorong tubuhku dengan satu jari. Seketika itu juga aku sadar sepenuhnya karena tubuhku oleng, nyaris tersungkur ke belakang. Wajah Mima memperlihatkan ekspresi geli bercampur bingung. "Olahraga kok sambil ngelamun," katanya sambil mengunyah semangkuk popcorn yang dia bawa ke sana kemari. "Mikirin apa, sih? Cowok?"

"Ya kali, mikirin itu." Andai permasalahannya sebatas cowok. Namun, tidak. Ini menyangkut diriku sendiri. "Mima belum berangkat?" Aku mengalihkan pertanyaan. Sudah jamnya Mima ke akademi. Tetapi dengan tenang, Mima menikmati popcorn. Pakaiannya pun tak terlihat seperti orang yang punya kesibukan, saking kelewat santainya. Berbekal celana training hitam dengan kaus polos putih tertutupi cardigan abu-abu Mima justru seperti anak kos yang kutemui di depan kios abang penjual nasi goreng untuk beli makan malam. Kendati pakaian itu sebenarnya fit saja di tubuh ramping Mima.

Aku juga bingung kenapa selalu ada kesan mahal dan 'pas' pada setiap cara berpakaiannya, sengawur apa pun itu-karena dia cuma asal comot.

"Bentar lagi. Kamu mau ikut?"

Cannon FodderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang