[stop being a people pleaser!]
Lui berkorban dalam banyak hal. Layaknya ciri-ciri pemerintah yang hanya terjabar di buku PPKN; Lui mengenyampingkan urusan pribadi dan selalu mengutamakan kepentingan umum. Seperti ketika satu kelas tidak bisa menjawa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mungkin kamu tahu rasanya; ketika bertekad menempuh rutemu sendiri, lalu Tuhan seakan memberimu izin untuk mengambil alih sebagian kendali-dan akhirnya kamu merasa ketakutan setinggi menara pisa pun bisa menciut, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Keberanianku memang belum menyentuh seratus persen, mungkin kurang dari puluhan, namun itu tetap terhitung sebagai proses.
Sudah sejak lama aku ingin membebaskan diri dari belenggu kepura-puraan. Bukan berarti tindakanku selama ini-seperti membantu, mengiakan, menyetujui permintaan orang-sebagai kepalsuan. Aku tulus melakukannya, mungkin yang memberatkan saat aku tidak diberi pilihan dan mereka terkesan tidak mau tahu opiniku sebelum memutuskan sesuatu untukku. Tetapi, kini aku baik-baik saja.
Lumayan, sebenarnya. Pelan-pelan aku mulai membiasakan diri untuk berhenti memedulikan sekeliling. Termasuk ketika mereka memandangiku dan membicarakan di belakang, maka aku akan mendistraksi dengan fokus mengerjakan tugas atau sesepele buang muka memerhatikan hal lain.
Aku tidak peduli lagi apakah mereka mengajakku berbicara, atau perkara permintaan maaf yang tak kunjung kudapat, mulai sekarang aku hanya akan fokus pada seseorang yang sering kulihat di kaca. Kudengar para motivator-atau apa pun itu sebutannya-sering mengumbar untaian kalimat bijak sejenis; "tidak ada yang bisa mengerti kamu sebaik dirimu sendiri." Jadi, anggap saja begitu. Lagipula setelah semua kekuatiran kuserahkan pada Tuhan, aku rasa aku pun berhak lahir menjadi pribadi yang baru. Ini bukan lagi soal orang lain.
"Tugas kali ini berkelompok, ya."
Kecuali Tuhan memang sedang ingin main-main denganku.
"Kalian dibebaskan membuat review film dengan tema apa saja. Satu kelompok berisi dua orang." Guru Bahasa Indonesia kami mengambil spidol, lantas menuliskan rentang waktu yang beliau berikan. Tugas dikumpulkan minggu depan. "Tugas dikerjakan di power point dan dipresentasikan. Jangan lupa sertakan juga kandungan serta nilai film tersebut. Dan terakhir... tugas kali ini nilainya besar, jadi kalau ada anggota kelompok kalian yang nggak mengerjakan, kalian bisa langsung laporkan namanya ke saya." Seakan mengerti siapa yang paling memungkinkan bertindak begitu, beliau melayangkan tatapan pada Arlo dan juga Pelangi, membuat keduanya kompak memasang muka masam.
"Pembagian kelompoknya gimana, Bu?" Unge mengangkat tangan, mengajukan pertanyaan. Karena tempat duduk kami terpisah dan tidak ada sebutan kawan sebangku, otomatis perebutan tahta kelompok dengan dua anggota jadi lebih kompetitif gara-gara bingung memutuskan mau mengajak orang di belakang, di depan, atau di samping.
"Sesuai urutan absen, biar nggak ribet. Absen satu sama absen dua, begitu seterusnya."
Aku segera mengingat-ingat nomor absenku sendiri. Empat belas. Berarti aku dengan nomor sebelumnya. Angka tiga belas di kelas ini dihuni oleh seseorang berinisial J. Sontak mataku terpancang pada perempuan yang duduk persis di bangku depanku. Ya Tuhan. Kenapa pula kami tidak mempunyai manusia dengan abjad K di sini.