Hari-hari berlalu dan di sekolah masih tak ada yang mengajakku bicara.
Oh, atau mungkin, sebenarnya ada. Seperti Arlo yang meminjam tipe X, kemudian terburu-buru mengembalikan dan mengucapkan terima kasih tanpa membalas tatapanku. Hanya itu. Selebihnya mereka mendiamkan aku, seakan aku hantu.
Tak bisa kupungkiri, di awal aku menyimpan banyak ketakutan. Malam-malam jadi semakin terasa panjang karena aku terus memikirkan apa yang sekiranya akan mereka lakukan. Berbagai kemungkinan buruk membentuk daftar list dalam benak serta pikiran. Namun, semakin kunanti, tidak ada yang terjadi. Kendati mereka bersikap abai, tak ada perlakuan buruk seperti yang kubayangkan.
Beberapa orang mungkin menganggap silent treatment seperti ini sangat jahat karena membiarkan korban berpikiran macam-macam dan berujung membuat korban menyalahkan diri sendiri. Tetapi tidak untuk diriku. Keadaan ini menguntungkan aku. Paling tidak aku tak perlu mendengar secara langsung sesuatu yang buruk, meski aku tahu mereka membicarakanku di belakang.
Bahkan setelah kupikir-pikir lagi, dikucilkan begini, tidak masalah untukku. Kemarin aku hanya sangat ketakutan. Aku jadi lupa, kalau sebenarnya aku lebih terbiasa sendirian.
Ucapan seseorang menurutku sangat menakutkan, ketimbang sebuah jambakan, jenggutan, atau dorongan kasar. Kekerasan fisik yang kudapat, mungkin sakit dan bekas lukanya akan hilang dalam beberapa hari. Namun ketika omongan buruk dilontarkan kepadaku, meski itu sudah bertahun-tahun, aku akan tetap mengingatnya setiap hari.
Jadi, tidak peduli apa alasan mereka mendiamkan aku, selama mereka tidak terang-terangan menghardikku di depan muka, aku bisa bertahan. Lagipula sebentar lagi aku lulus, seharusnya tidak sesulit itu buat menahannya. Aku cukup kuat. Jika aku bisa melewati hari-hari buruk di SD dan SMP, maka kejadian semacam ini semestinya telah menguatkan aku. Aku hanya perlu meyakinkan diri, cepat atau lambat ini akan segera berlalu.
"Lu, semuanya baik-baik aja, 'kan?"
Mobil Mima berhenti sepuluh meter dari area sekolah. Tak tahu sedari kapan, mungkin baru saja. Aku tidak terlalu memperhatikan jalanan. "Baik—apanya?" Aku agak linglung menanggapi pertanyaan Mima, tapi kemudian merutuk dalam hati lalu segera melanjutkan, "everything is fine, Mim." Seharusnya kutolak tawaran berangkat bareng dari Mima kalau tahu aku tidak sepenuhnya menyimak apa saja yang sudah dia bicarakan.
"Yakin?"
"Apa yang bikin Mima ragu sama jawabanku?"
Mima mengetuk-etuk stir kemudi dengan kuku telunjuk tangan kanan digigiti. "Kamu kelihatan kurang fokus aja akhir-akhir ini."
Nada ini. Percakapan ini. Seakan-akan aku bisa bebas menceritakan semua yang kualami. Sayangnya hanya melalui gerak-gerik Mima aku tahu apa yang harus kulakukan."Kayaknya kurang fokus buat ukuran anak kelas tiga yang sebentar lagi ikut ujian itu hal wajar, deh." Aku melepas sabuk pengaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cannon Fodder
General Fiction[stop being a people pleaser!] Lui berkorban dalam banyak hal. Layaknya ciri-ciri pemerintah yang hanya terjabar di buku PPKN; Lui mengenyampingkan urusan pribadi dan selalu mengutamakan kepentingan umum. Seperti ketika satu kelas tidak bisa menjawa...