Guncangan tawa meriah Tante Fen terdengar sampai luar, tepat saat aku turun dari boncengan ojek online. Melangkah ke rak sepatu, ledakan tawa Mima turut menyertai. Selanjutnya kolaborasi cekakan mereka mendominasi. Apresiasi kuberikan kepada para tetangga yang tidak pernah melayangkan protes meski rumah kami berisik sekali. Entah mereka tidak peduli atau karena sebenarnya sudah pernah, dan Mima berhasil mengatasi hanya dengan muncul mengeluarkan tatapan polos tidak mengerti mengapa bisa tiba di bumi—jurus andalannya setiap terjebak masalah.
Selesai menaruh sepatu dengan posisi sejajar, aku masuk ke dalam, dan lengkingan tawa mereka semakin menjadi-jadi. Kutemukan kedua orang tua (karena mereka sudah tua) itu duduk bersebelahan di depan televisi. Seolah tidak menyadari keberadaanku, mereka kembali tertawa terpingkal-pingkal. Karena penasaran, aku berdiri di tengah-tengah mereka, mencari tahu apa yang membuat mereka begitu.
"Aku baru tahu Tom and Jerry selucu itu."
"Lui!"
Mima terperanjat. Wanita yang menjabat sebagai ibuku itu sontak mengubah posisi duduknya menghadap belakang, melihat aku yang berjalan ke pantry, ingin mengambil minum. "Kamu baru pulang?"
"Iya."
"Kok Mima nggak dengar suara motor, sih?"
Aku meneguk segelas air dingin sampai habis. Segar. Pulang sekolah memang enaknya minum es. Tetapi, karena membeli boba, es serut, atau pop ice bisa membuat radang tenggorokan, lebih baik minum air putih saja. "Mungkin karena Mima terlalu asyik nonton Tom and Jerry?" kataku agak sarkastis.
"Emang iya?" Mima seakan bertanya pada diri sendiri.
"Loh, Luisa sudah pulang!"
Tante Fen menyadari keberadaanku setelah kartun itu iklan. Aku tersenyum, sekaligus membuktikan pada Mima, alasanku benar adanya. "Hai, Tante. Hari ini arisannya di rumah Mima, ya?" Aku bertanya. Basa-basi saja sebenarnya. Kalau menyapa sekilas lalu pergi masuk kamar, ketahuan banget aku tidak ingin berlama-lama terjebak bersama mereka.
"Arisannya minggu depan, Lu. Tante bosen aja di rumah, makanya main ke sini."
"Oooh..." Aku mengangguk, kurang lebih dapat memahami mengapa Tante Fen sering bermain kemari. Mima dan Tante Fen adalah sahabat karib. Mereka berteman sejak jaman kuliah, tetapi Mima keluar di semester empat karena menikah dengan papa lalu mengandung aku dan keadaan saat itu tidak memungkinkannya untuk tetap melanjutkan studi. Sementara Tante Fen memilih melajang hingga hari ini. Aku tidak tahu pasti apa alasannya, namun terkadang, aku cukup menyayangkan keputusan itu. Tante Fen selalu kesepian. Aku dengan senang hati akan menemani, kalau saja—
"Lu, kayaknya kulit kamu iteman, deh. Sebelum berangkat sekolah kamu pakai sunblock, 'kan?"
—Iya, kalau saja pembahasan soal fisikku tidak seperti ceramah kepala sekolah yang terus diulang-ulang.
"Pakai, kok." Aku menjawab kalem. "Mungkin karena tadi upacaranya lama, Tan."
"Oalah, lain kali dibanyakin ya pakainya. Biar agak cerahan dan nggak kebanting kalau sampingan sama Mima," kata Tante Fen seiring beranjaknya Mima menyusulku ke pantry. Mima menanyaiku ingin makan apa dan kujawab dengan gelengan. Aku belum lapar. Yang kubutuhkan adalah obat pencahar. Sementara Tante Fen masih mengoceh, kubiarkan Mima mengambilkan obat itu di kamarnya. "Mima dulu hampir aja jadi finalis Miss Indonesia, tapi karena hamil kamu, kesempatan itu dia lepas. Bayangin, Lu. Miss Indonesia, loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cannon Fodder
General Fiction[stop being a people pleaser!] Lui berkorban dalam banyak hal. Layaknya ciri-ciri pemerintah yang hanya terjabar di buku PPKN; Lui mengenyampingkan urusan pribadi dan selalu mengutamakan kepentingan umum. Seperti ketika satu kelas tidak bisa menjawa...