BAB 3 : Beban Satu Kelas

176 33 14
                                    

Mima biasa membawakan aku bekal, jadi aku tidak perlu ke kantin, kecuali ada yang minta bantuanku untuk membelikan sesuatu di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mima biasa membawakan aku bekal, jadi aku tidak perlu ke kantin, kecuali ada yang minta bantuanku untuk membelikan sesuatu di sana. Dengan uang mereka tentunya, aku hanya perantara. Tetapi terkadang, ada saat-saat tertentu di mana aku tiba-tiba saja berada di tengah riuhnya kantin, bersama sekelompok genk milik Jiana. Kamu pasti bisa menebak aku bukan bagian dari genk ini hanya dengan tingkah kikuk atau posisi dudukku yang berjarak dengan mereka, meski kami satu meja.

"Lu, kamu beneran nggak mau kukenalkan sama salah satu dari mereka?" Yang dimaksud Jiana adalah kumpulan anak paskibra. Kebanyakan dari mereka laki-laki, jelas saja Jiana anteng tak mau pindah posisi. "Pelangi punya banyak koneksi di sana. Iya kan, Ngi?"

"Betul, Bos Jia. Mau minta nomor anak paskib, basket, futsal, rohis, pramuka, kabaret, aku punya semua. Tinggal sebut mau yang mana. Khusus kamu, Lui, aku kasih lima ribu aja. Ke yang lain sepuluh ribu aku," cakap Pelangi. Namanya imut, namun punya suara serak-serak basah. Jiwa dagangnya sudah mendarah daging. Awal masuk kemarin, dia jual pulsa internet. Setiap hari aku ditawari dan karena selalu kubeli, dia menetapkan aku sebagai langganan. Sekarang nomor orang pun dijual.

"Jangan percaya, Lu. Dia bilang begitu cuma pas pembelian pertama, setelah ketagihan, harganya bakal langsung dinaikin," timpal Unge.

"Itu namanya strategi pemasaran!"

"Kayaknya Lui nggak tertarik beli nomor orang, Ngi." Jiana yang menopang dagu dan duduk di bangku panjang denganku melirik.

Aku berdeham pelan. Dengan meningkatkan sedikit keberanian, aku mengatakan, "bagiin nomor orang tanpa persetujuan langsung dari mereka, bukannya itu melanggar privasi?"

Tak ada yang menjawab, meski kutatap mereka semua, berharap ditanggapi. Pelangi mendadak menyapa temannya dari kelas lain. Unge... aku melihat dia tersenyum geli kala menyuap sesendok ketoprak. Kurasakan rambutku dielus-elus sembari ditepuk sangat pelan, seperti anak anjing. Jiana yang melakukan. Dia tersenyum dan bilang, "udah, lanjutin aja nulisnya."

Dan inilah kenapa aku bersama mereka. Untuk membantu Jiana mengerjakan tugas Bahasa Inggris yang belum dia kumpulkan ke Miss Nuki. Batas akhirnya sampai jam pelajaran terakhir nanti, jadi harus selesai. Sementara aku mengerjakan, Jiana dan yang lain menemani.

Jiana memang tidak pernah mendeklarasikan dirinya memiliki genk. Tetapi, sepertinya satu sekolah pun tahu, di mana ada dia, selalu saja ada Pelangi serta Unge yang mengekori. Ketiganya lengket sejak kelas satu. Sempat terpisah di kelas dua dan kembali berkumpul satu kelas lagi sekarang. Sedari yang aku kenal di bangku SMP, Jiana memang selalu jadi sorotan.

Jangan berharap aku akan mendeskripsikannya se-fantastis Regina George dalam film Mean Girls atau deretan tokoh-tokoh queen bee yang datang ke sekolah menggunakan mobil paling mahal, lalu keluar sambil mengibaskan rambut dan membuat orang-orang di sekitar menjerit mengagumi keindahannya. Uh, tidak. Dia cantik, aku mengakui. Jiana bukan orang yang bisa kita abaikan, sekalipun dia hanya diam dan tak melakukan apa-apa. Tadinya kupikir karena dia punya aura mengintimidasi lumayan kuat. Serius. Aku dan Jiana baru bicara setelah kami berada di kelas yang sama tahun ini. Sebelum-sebelumnya aku cuma sekadar mengenal dia—aku sangsi dia mengenalku. Jadi, jujur saja, aku takut dengan Jiana.

Cannon FodderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang