BAB 6 : Ledakan yang Tertahan

134 26 14
                                    

⚠️ Warning : isi chapter kali ini mungkin bisa bikin kamu ke-trigger. sebagai imbauan, kalau kondisimu sedang nggak baik, aku sarankan buat nggak membaca lebih dulu, ya. jangan lupa perhatikan dan utamakan kondisi mentalmu.

***

Aku tidak tahan lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku tidak tahan lagi.

Seperti bom atom yang telah lama dinyalakan dan kini tinggal menghitung mundur untuk meledak, gemuruh besar kurasakan memenuhi seisi rongga dada. Tanganku berkeringat. Perayaan yang kulihat persis di depan mata bagaikan perjamuan makan malam kematianku. Kebahagiaan mereka. Harapan tinggi yang mereka bebankan padaku. Kesulitan apa yang akan aku alami karena adanya keputusan sepihak itu—mereka tidak mau tahu. Persetan dengan omongan: "kami semua percaya sama kamu, Lu." Basa-basi penuh kekosongan ini hanya tameng tak bermakna. Mereka tidak tulus mengatakannya. Dan Jiana, lagi-lagi dia seperti ini. Apa arti minta maaf tadi kalau dia tak betul-betul tahu kesalahannya.

"Aku nggak mau!"

Gebyar keantusiasan tadinya mengendap di langit-langit kelas. Tetapi, tak ada yang melihatku. Sekalipun Pelangi dan Arlo yang berdiri di samping kanan-kiriku. Keduanya sibuk menggembar-gemborkan ide penampilan super spektakuler. Riuh redam. Seperti kamu terjebak di tengah keramaian kota asing dan yang kamu punya hanya dirimu sendiri. Berisik. Sampai kemudian ucapan itu keluar... dengan sempurna... dengan lancar tak terbata... dengan keberanian yang entah kudapat dari mana. Aku bukan satu-satunya yang terkejut, mereka lebih merasakan itu.

Suasana kelas mendadak hening tanpa suara. Tanganku tambah berkeringat. Mungkin sebentar lagi kubutuhkan ember untuk menampung airnya.

Butuh seperkian detik untukku meyakinkan diri bahwa omongan tadi keluar dari mulut yang selama ini terkunci. Perasaan senang tumbuh menjalar pelan-pelan. Kuberi pupuk selusin, supaya makin besar. Kutunggu-tunggu agar segera menguasaiku. Supaya aku punya keberanian untuk memuntahkan semuanya. Setelah apa yang kukatakan, tidak mungkin aku berhenti di sini dan meninggalkan mereka dengan kebingungan. Sebab seperti kotoran, kekesalanku harus dikeluarkan, atau aku akan kesakitan sebagaimana saat menahan berak demi seseorang.

Namun, lama aku menunggu, pupuk kebencian yang kuberi ternyata tidak membuat keberanian ini muncul. Senang yang kurasakan menyurut ketika harus bertemu dengan mata mereka. Kamu ingat bom yang kubahas sebelumnya? Bom atom itu mati saat menyentuh hitungan ke satu. Alih-alih meledak, waktu seolah dihentikan. Perputaran dunia tak lagi ada. Teman-teman sekelasku seolah terkena sihir. Mereka tidak bisa bergerak. Namun, mata mereka terus menghujaniku, membuat tubuhku semakin bergetar hebat. Mereka menuntut penjelasan. Mereka memintaku berbicara. Bagaimana melakukannya... bagaimana caraku membuka mulut, aku bertanya-tanya. Kekalutan menyelimuti kaki hingga kepalaku. Bicara. Bicara. Bicara. Ayo bicara!

Tidak, aku tidak bisa melakukannya.

Mulutku kembali terkunci.

Aku panik... dan kulihat Jiana berdiri. Dia tidak membeku seperti yang lain. "Kenapa nggak bisa, Lu?" Pertanyaan tersebut dilayangkan sembari berjalan mendekat. "Kamu kan, pintar nyanyi. Suaramu juga bagus," ucapnya lagi, tetapi aku tidak merasa dipuji. Jantungku tersirap, kemudian bertalu-talu sangat cepat. Ketika dia berdiri di hadapanku, kedua bola matanya menghitam, membentuk jurang sangat dalam. "Kamu bisa mencuri seluruh perhatian. Dengan begitu, kamu nggak perlu munafik lagi. Manusia kayak kamu pasti sebenarnya senang dapat spotlight sebesar itu."

Cannon FodderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang