BAB 7 : Perubahan Drastis

113 27 6
                                    

Taksi yang kutumpangi bersama Jiana membawa kami ke rumah Tante Fen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taksi yang kutumpangi bersama Jiana membawa kami ke rumah Tante Fen. Aku sudah menghubungi beliau via pesan dan berkata untuk tidak memberi tahu Mima bahwa aku akan ada di sana. Tujuanku memang untuk menghindar. Sekarang masih siang, kalau Mima tahu aku pulang karena sakit, pastilah Mima sangat khawatir. Di sisi lain, aku butuh diberi waktu buat memahami apa yang terjadi dengan diriku sendiri. Tante Fen pasti memahami alasanku, asal Jiana tidak colong start bicara macam-macam.

Sejauh ini, cewek itu cuma diam.

Perjalanan kami diisi oleh keheningan. Didukung oleh sekat besar di bagian tengah karena pemilihan tempat duduk yang berjarak. Aku mencuri pandang. Sekadar memastikan apa yang dia lakukan. Namun yang kutemukan hanya pemandangan Jiana tertidur dengan kepala menyender kaca. Sejujurnya dia tidak perlu mengantarku. Kecuali Jiana sengaja mencari kesempatan supaya bisa ikut pulang lebih awal sehingga terbebas dari jahanamnya pelajaran matematika siang-siang.

Ah, sudah terlanjur, aku tidak punya kekuatan buat menolak dan meyakinkan dia untuk pulang sendiri. Aku terkecoh. Tadi hatiku dibikin hampir meleleh gara-gara dia berinisiatif membawakan tasku sambil menunggu taksi datang. Sekarang pun tas berwarna abu-abu itu masih bersamanya. Berada dalam pangkuannya.

Helaan pelan berembus semilir-semilir melalui hidung kecilku. Belum sepenuhnya plong. Dadaku masih terasa agak tertekan. Namun, keadaan ini sedikit lebih baik ketimbang yang kualami di sekolah. Untuk kembali membayangkan rasanya saja aku takut. Seperti menaiki rollercoaster yang dilajukan saat aku belum siap, semuanya serba mendadak.

Emosi apa yang menyelimutiku, rasanya tak jelas. Mereka bercampur dan membentuk sebuah perasaan berkecamuk. Tidak ada identifikasi khusus apakah ini marah, sedih, kecewa, kesal, benci, atau apa. Kalau aku saja tidak mengerti, bagaimana orang lain? Bisa-bisa aku dibilang mengada-ngada. Atau yang lebih menyebalkan, mereka menganggap ini semua buah dari pikiran burukku saja.

"Lu."

Lamunanku tergugah. Lengang di mobil ini terpecahkan oleh panggilan Jiana. Dia menegakkan tubuh. Mata tajamnya menyorot padaku. Cewek ini... dia tidak benar-benar tidur. "Aku salah apa sama kamu?" Pertanyaannya membuatku bergeming. Aku berharap dia lanjut berbicara, entah mengomel atau menyuarakan pendapatnya yang bersifat pembelaan diri. Aku juga berharap dia menyebutku aneh karena bertingkah berlebihan seperti tadi.

Aku meraba-raba apa yang sebenarnya dia inginkan. Namun anehnya, aku tidak mendengar nada penghakiman pada pertanyaan yang dia lontarkan. Seakan apa yang keluar dari mulutnya tak cuma memiliki satu arti. Tetapi jika itu hanya firasatku dan ternyata Jiana betul-betul menyuruhku menyebutkan daftar kesalahannya, aku tak yakin bisa menjawab. "Aku nggak paham sama pertanyaanmu, Ji." Jadi, kupilih jalan paling aman. Aku tidak tahu sejak kapan dia mulai sulit kumengerti.

Sesaat setelah kujawab begitu, darah mendesir menyusuri wajah Jiana. Dia merapatkan bibir. Kepalanya menunduk dengan jari-jari bertaut di atas tasku. "Kamu pingsan waktu kusamperin. Jadi kemungkinan besar aku penyebab kamu mengalami hal-hal tadi," ungkap Jiana. Aku membisu sehingga dia mendongak lalu kembali menghujaniku dengan pertanyaan. "Apa karena aku minta kamu ikut seleksi?"

Cannon FodderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang