"Oi, Arlo! Minggir sana!"
"Nggak mau!"
Bola basket sebesar kepala paus orca mengenai pelipis Arlo, tepat setelah penolakan itu dia lontarkan dengan abai.
"SIALAN KAMU, NGI!"
"Kan aku udah suruh kamu minggir!"
Materi olahraga hari ini adalah basket. Rencananya pengambilan nilai akan diadakan Jumat depan, jadi supaya tidak kagok, kami disuruh mengakrabkan diri dengan bola-bola tersebut. Tetapi, menurutku percuma saja. Alih-alih mengajari atau setidaknya memberi contoh, bapak pengampu pelajaran ini justru sudah tak kelihatan lagi di mana rimbanya usai mengabsen dan sedikit membimbing pemanasan. Beliau memberi kami kelonggaran untuk mengeksplor sendiri. Berharap kami menggunakan kebebasan ini dengan bijak. Barangkali beliau lupa, jam olahraga bagi kelas kami tak ubahnya waktu buat bermain serta bermalas-malasan.
Dapat dihitung jari siapa saja yang benar-benar mengemban kepercayaan pak guru. Pelangi dan Arlo dua di antaranya. Namun, kedua orang itu sudah bubar barisan sejak Arlo tidak terima ditimpuk bola. Kini mereka saling kejar. Bukan Arlo yang balas dendam, melainkan Pelangi. Cewek berambut pendek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menangkap lalu memiting kepala Arlo, gara-garanya cowok itu terus menantang sedangkan Pelangi merasa telah minta maaf. Pemandangan seperti ini sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sekali pun pertikaian itu menjadi serius, pada akhirnya keberanian Arlo buat selalu mencari masalah patut diacungi jempol. Tak bisa kubayangkan kalau dia jadi anak Mima, menggantikan posisiku.
"Hadeh, panasnya."
Aku menggeser pantat. Duduk pada sisi bangku bagian ujung. Dari semua titik, bangku panjang yang terletak di bawah pohon beringin ini jadi yang paling teduh dan dingin. Cocok dijadikan tempat melipir dari segala mara bahaya matahari. Apalagi aku sudah cukup lama terpapar terik, karena baru saja ikut latihan menggiring dan melempar bola berulang kali—sukses pada percobaan kelima. Bisa-bisa pulang nanti Tante Fen mencibir warna kulitku lagi. Jadi aku memilih beristirahat sembari menyaksikan tingkah teman-teman.
"Mau minum, Lu?"
Sengaja aku menjaga jarak dengan Jiana. Namun, dia menyodorkan kresek berisi dua botol air mineral ukuran sedang dan beberapa minuman kaleng. Sudah pasti sedari tadi dia berada di kantin. Mana mungkin Jiana Froska ikut olahraga. "Ambil aja," cakapnya lagi. Terjadi jeda keheningan lumayan lama yang kuhabiskan hanya untuk memandanginya. "Kamu nggak suka minum yang aneh-aneh, jadi pilihanmu pasti air mineral." Barangkali sebal melihatku cuma diam, dia mengambilkan tanpa kuminta.
Botol mineral itu Jiana taruh di tanganku.
"Makasih." Aku bersungguh-sungguh.
Jiana meletakkan kresek minuman tersebut di pangkuannya. Ini bukan hal langka. Setiap tiba waktu olahraga, beberapa kali dia suka membelikan minum serta jajanan untuk anak-anak tanpa diminta. Jadi, tak ada maksud khusus atas kebaikannya berbagi minuman ini. Kendati sebenarnya aku ingin dia menyadari, masih ada sejumput rasa kekecewaan yang membekas di hatiku berkat tindakannya kemarin malam. Tetapi, apa yang bisa kuharapkan dari Jiana. Malam setelah mengantarku pulang, mungkin dia sudah kembali sibuk dengan dirinya sendiri. Dia selalu kelihatan seperti orang yang tidak akan berpikir ulang apakah perbuatannya benar atau salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cannon Fodder
General Fiction[stop being a people pleaser!] Lui berkorban dalam banyak hal. Layaknya ciri-ciri pemerintah yang hanya terjabar di buku PPKN; Lui mengenyampingkan urusan pribadi dan selalu mengutamakan kepentingan umum. Seperti ketika satu kelas tidak bisa menjawa...