3. Nyanyiannya

204 55 4
                                    

Mobil Toyota Fortuner kelabu itu berhenti menggeram di garasi. Setelah lima menit terparkir di sana, pengemudinya baru sadar kalau ia terlalu lama melamun hingga lupa mematikan mesin. Mungkin lelaki itu lelah. Seharian ini dirinya sudah macam sopir angkot yang menjemput tamu penting di bandara lalu ke hotel, lalu dari hotel ke salon, salon ke venue resepsi pernikahan Wenandra dan Jenna, lantas mengantar mereka kembali ke hotel. Hingga akhirnya, rute terakhir ke rumah Widi yang jadi tempat after-party itu membuatnya bungkam. Tak ada musik yang cukup membuatnya bersenandung. Semuanya kalah dengan debar gugup yang memenuhi rongga dadanya.

Penumpang terakhir Banyu di jok depan itu mungkin jadi saksi bagaimana lelaki dengan setelan warna pasir itu mendesah setiap kali teringat apa yang akan ia hadapi. Andai buket bunga merah muda itu punya mulut, ia pasti akan bilang, "Sudahlah, tenang. Tampangmu sekarang seperti orang yang ketakutan ketika ditagih hutang."

Banyu sudah seperti itu sejak mengantar tamu terakhir ke hotel. Terlebih ketika Tanya, salah satu rekan kantor yang sudah seperti adiknya sendiri, mengiriminya pesan singkat dan video suasana pesta. Memintanya cepat datang karena acara sudah dimulai. Rumah Widi yang sudah biasa jadi basecamp untuk anak-anak kantor mereka tampak gegap gempita oleh pesta kecil di taman belakang.

Dari foto yang dikirimkan Tanya, tampak jelas suasana yang sudah mulai hangat. Yang datang ke after-party malam itu jauh lebih sedikit daripada acara resepsi tadi. Sebagian besar mereka yang mengenakan seragam bridesmaids dan groomsmen. Di bawah naungan cahaya lampu yang menghiasi taman, gadis-gadis berkumpul dan bertelanjang kaki di rerumputan taman belakang. Sementara laki-lakinya sudah menanggalkan setelan jas mereka dan menggulung kemeja. Bersama Wenandra dan Jenna, mereka ikut bernyanyi bersama, diiringi hentak lagu dari panggung kecil di tepi kolam.

Yah ... Itulah yang membuat Banyu ragu untuk keluar dari mobil. Padahal tugasnya sudah lunas, tapi ia masih melamun menatap buket bunga dan mengusapnya seperti orang bodoh.

"What do I do?" gumam Banyu sambil membawa buket bunga itu ke pangkuannya. Ujung jarinya masih betah mengeja tiap kelopak yang saling peluk menjadi bunga yang cantik.

Banyu teringat momen ketika ia membiarkan tubuhnya melambung dan menangkap buket bunga itu. Ia tak pernah tahu bahwa lompatan kecil itu akan membuatnya sadar pada harapan kecil untuk memulai romansa baru. Ia juga tak menyangka bahwa sosok yang tak ingin ia ingat pada topik itu justru muncul begitu saja di hadapannya.

Sandar.

Astaga ... Banyu menghela napas cepat kali ini. Ia teringat lagi bagaimana bertahun-tahun lalu, Sandar muncul secara tiba-tiba di tikungan jalan siang itu. Membuatnya kepincut dengan cara yang aneh, memikatnya lewat lubang hidungnya yang cantik di pantulan kaca spion.

"Apa memang gayamu seperti itu, ya ... suka muncul tiba-tiba begini?" keluh Banyu, bicara sendiri.

Dok-dok-dok!

"HUWAH!" Banyu terlonjak kaget.

Kaca mobil diketuk, dan sosok perempuan bergaun panjang sudah nemplok di sana. Wajahnya heran sekaligus sengit. Bahkan dari balik kaca tebal, Banyu bisa mendengar teriakannya.

"Ngapain kamu bengong di situ?!"

Banyu terkekeh. Menekan tombol dan membiarkan kaca mobil merayap turun. Membuat teriakan Sore kian lantang mencabik gendang telinganya.

"Ditungguin juga!"

"Cieee ... Nungguin aku banget, mbak? Kangen ya seharian nggak liat Dedek Banyu kesayangan— ARRH!"

Bukan gendang telinganya yang sobek. Daun telinga Banyu juga bakal copot kalau dijewer seperti ini.

"Lama!"

Biru Langit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang