11. Menyerah

125 10 0
                                    

Sepeninggal dua perawat yang membawa Sandar ke ruang rawat inap, Banyu hanya bisa berdiri kaku di sisi tirai yang separuh tertutup. Wajah pucatnya tak surut sejak menemukan Sandar tergeletak tak sadarkan diri di halaman rumah, bahkan hingga Saka datang menemuinya di IGD.

"Thanks ...." Bersama tepukan yang berakhir dengan remasan di bahu, Saka menyodorkan senyum pada Banyu. "Biarin dia istirahat. Kamu juga ...."

Namun senyum menenangkan itu tak ampuh untuk menyudahi kerut di antara kedua alis Banyu. Fakta yang ia ketahui dari pemeriksaan dokter tadi membuat hatinya tak karuan. Mengenali wajah tak terkejut Saka membuat batin Banyu kian kacau.

Saka menunjuk sofa di balik tirai yang memisahkan ranjang Sandar dengan area tunggu wali pasien. "Duduk dulu .... Aku ceritain semuanya ...."


***


"Pemulihan Sandar emang terhitung lambat. Kami semua tahu ... belajar jalan dari awal, bergerak normal lagi seperti semula, adalah hal yang sulit dilakukan. Apalagi dengan kondisi Sandar yang sering mengalami serangan panik. Traumanya dengan jalan raya jadi persoalan sendiri ...."

Banyu tertunduk. Buku jarinya memutih berkat meremas kedua lututnya erat-erat. Saka bukan tak menyadari itu, tapi ini bukan waktunya untuk memperhalus bahasa. Banyu perlu tahu kondisi Sandar sebenarnya, apalagi setelah kejadian hari ini.

"Empat tahun udah lewat sejak kecelakaan itu .... Sandar udah mulai berani naik mobil, duduk di depan, melihat jalan. Sandar udah bisa main gitar, producing lagu. Jalan pun udah nggak begitu kesulitan. Semuanya kelihatan semakin normal sampai akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya yang sempat tertinggal."

Helaan napas panjang nan lambat-lambat terdengar dari dengusan hidung Banyu. Hatinya terasa remuk mendengar kesulitan Sandar untuk sembuh yang lebih rumit dari yang ia bayangkan.

"Sandar pengen wisuda. Dan kami pikir itu bagus. Meskipun Sandarsaka mulai banyak dikenal dan rejeki datang dari situ, setidaknya Sandar ingin tanggung jawab dengan studinya sampai tuntas. Dia mulai mengerjakan skripsi sambil kerja. Mungkin agak diforsir, makanya kami menyadari kalau dia sering kelelahan sampai mimisan."

Saka menyandarkan punggungnya ke sofa. Matanya mengawang ke langit-langit kamar rawat. Mengenang masa-masa dimana ia menjadi orang paling dekat dengan Sandar yang harus mengawasinya setelah Mama Sandar kembali ke Belanda.

"Sandar kelihatan gampang capek .... Terus suka nge-blank kalau lagi latihan atau bahkan waktu siaran live. Pernah suatu kali, Sandar berhenti main di tengah-tengah lagu waktu manggung. Kelihatan linglung .... Sampai akhirnya, waktu dia lagi bimbingan skripsi, aku ditelpon sama orang kampus. Sandar pingsan."

Lamunan Saka melayang pada hari kejadian dimana Sandar collapse di kampus dan membuat semua orang panik.

"Aku mengantar Sandar ke Rumah Sakit. Awalnya kukira itu sakit biasa, hanya karena sibuk kerja lembur dan mengejar deadline skripsi. Tapi ternyata lebih dari itu ...."


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Biru Langit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang