15. Janji

122 6 4
                                    

Perjalanan kembali menuju Jogja terasa hambar. Selain pemutar musik yang memperdengarkan playlist 88rising, hanya dengkur napas Dias di bangku belakang yang terkadang ngegas. Dua mulut lelaki lainnya terkunci di bangku depan. Saka fokus menyetir, hanya sesekali mengangguk mengikuti dentam drum. Sandar termenung diam melihat jalan di sisi kiri.

Bisu di mulut Sandar sudah awet sejak ia memutuskan keluar dari kamar Banyu. Kemunculannya disambut tatap cemas beberapa anggota keluarga Banyu. Bukan tanpa alasan, mereka semua pasti mendengar raung tangis Banyu sebelumnya dari dalam kamar. Sandar hanya bisa menjawab dengan senyum dan anggukan menenangkan. Banyu sudah tenang, itu kalimat yang coba Sandar sampaikan lewat senyum kikuknya. Tak lama, setelah Banyu muncul dari kamar, semuanya kembali pura-pura tak melihat. Mungkin mereka cukup tahu, anak sulung yang tak pernah pulang dan tak tampak kehilangan itu pada akhirnya menunjukkan tanda-tanda berduka juga. Setidaknya begitu dugaan baiknya.

Sandar menarik napas panjang, lantas menghembuskannya lambat-lambat hingga jadi kabut di permukaan jendela mobil. Ucapan Banyu terngiang berkali-kali di benaknya. Tentang Banyu yang belum bisa memaafkan ayahnya, namun merasa kehilangan juga. Lantas, pengakuan lelaki itu yang punya perasaan rumit serupa terhadap Sandar.

 Lantas, pengakuan lelaki itu yang punya perasaan rumit serupa terhadap Sandar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Biru Langit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang