9. Lagu Cinta

184 23 12
                                    

Mungkin Banyu masih ingat dengan karakter Sandar yang gengsian. Turun dari motor, lelaki itu hanya menyodorkan senyum manis seperti biasa, seolah tak mendengar tangis sesegukan Sandar di punggungnya sepanjang jalan. Banyu juga tak membahas sisa air mata yang membuat bulu mata Sandar menggumpal.

Setelah menerima helm dari Sandar, Banyu sudah sibuk membahas menu nasi jinggo, ayam betutu, sate lilit, dan lawar yang menjadi favoritnya di kedai langganannya itu.

"Favorit itu bukannya harusnya cuma satu?"

Banyu terkekeh. Pertanyaan bernada ledekan itu tampak kontras dengan wajah kusut Sandar.

"Mereka kan saling melengkapi. Ya kali makan ayam betutu nggak pake nasi? Mana enak."

Sudut bibir Sandar terangkat. Banyu juga tersenyum lega melihat Sandar tampak baik-baik saja.

"Ayo masuk, aku udah laper banget."

Sandar mengangguk dan menunggu Banyu jalan duluan. Tapi Banyu malah menunggu Sandar berbalik dan lebih dulu melangkah. Beberapa detik saling tunggu dan bingung itu membuat keduanya tertawa lagi.

Apa-apaan, sih, ini? Canggung sekali.

"Duduk di sana aja," Banyu menunjuk meja di sudut, yang lebih dekat dengan jendela menuju taman belakang kedai sederhana itu.

Sandar patuh, lalu lebih dulu menyeberangi ruang sementara Banyu memesan makanan. Setelah duduk di bangku yang cukup nyaman, Sandar menghela napas panjang. Perjalanan pendek ini aneh sekali.

Sandar menatap jari-jarinya yang masih terasa dingin. Ini pertama kalinya Sandar naik sepeda motor lagi setelah empat tahun. Meski waktu sudah cukup lama berlalu, Sandar masih terngiang-ngiang malam dimana kecelakaan itu terjadi. Kadang, melihat jalan raya atau lampu merah saja masih membuatnya pusing.

Sandar ingat bagaimana kacaunya ia saat pertama kali keluar dari rumah sakit. Padahal Mamanya menjemput dengan mobil. Tapi melihat ramainya lalu lintas dan kendaraan yang berjubel mengantre di lampu merah saja sudah membuat Sandar sesak napas dan hyperventilating.

Syukurlah sekarang Sandar tak separah dulu. Ia memaksakan diri duduk di bangku depan setiap kali naik mobil untuk fisioterapi. Melihat keramaian jalan dan lampu merah tak lagi membuat Sandar kesakitan. Sandar sudah lebih berani menghadapi rasa takutnya. Meskipun masih membuat dadanya sesak, mungkin hari ini Sandar memenangkan satu lagi trauma masa lalunya dengan sepeda motor.

"Kamu masih suka makan pedes?" Banyu datang dengan riang, duduk di seberang Sandar. Senyumnya lebih lebar setelah melihat deretan masakan setelah memesan tadi.

"Sambal matah di sini nggak begitu pedes soalnya."

Sandar mengangguk tenang, "Masih, asalkan nggak terlalu pedas .... Sekarang level pedasku berkurang, nggak kayak dulu lagi, mas."

"Kalau beli lotek cabenya nggak lima lagi?"

Sandar terkekeh dan menggeleng, "Nggak, cuma tiga atau dua."

Banyu mengangguk-angguk, "Emang, sih .... Katanya makin tua, toleransi pedes orang makin turun."

"Mas Banyu bilang aku udah tua?"

"Syukurlah kalau bisa tua. Aku pengen lihat kamu kalau udah tua kayak gimana. Mungkin kayak Fariz RM?"

"Hah?" Sandar menganga.

Random sekali jawaban mas-mas ini. Kenapa habis membahas sambal matah jadi bahas Fariz RM?

Sandar sudah siap mengomentari celetukan Banyu. Tapi kalimat Banyu sebelumnya membuat Sandar gagal bersuara.

"Syukurlah kalau bisa tua ...."

Apakah Banyu sedang mengungkit sesuatu? Usia dan kematian mungkin jadi topik rahasia yang sensitif di antara mereka berdua.

Sandar menatap Banyu yang masih sibuk mengoceh tentang Fariz RM. Jempolnya semangat mengetikkan nama penyanyi legendaris itu di mesin pencarian. Kata Banyu, foto masa muda Fariz RM ganteng banget.

"Aku pengen lihat kamu kalau udah tua kayak gimana."




_____

Baca selengkapnya di KaryaKarsa. Link ada di bio. See you! ;)

Biru Langit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang