6. Sejak Yang Pertama

284 54 9
                                    


Ternyata Banyu masih tidak ingin menemui Sandar? Benarkah?

Kata-kata tertahan di lidah Banyu. Bukan karena ia tak bisa segera menyangkal atau mengiyakan, tapi karena menyadari bahwa Sandar belum sepenuhnya sadar.

Itu memang pertanyaan pertama dan paling utama dari pertemuan mereka kali ini, kan? Banyu paham, di momen terakhir mereka dulu, Banyu lah yang bilang bahwa ia tak ingin bertemu dengan Sandar. Banyu tak lupa bagaimana dia pergi, memutus kontak, dan tak memberi kabar pada siapa pun termasuk Sandar sejak empat tahun lalu. Sandar tampaknya menghormati itu, meskipun pada akhirnya ia menumpahkan semua kangennya lewat lagu-lagu yang ia tulis.

Kondisi saat ini, separuhnya bukan keinginan Sandar. Banyu paham situasinya. Ia bahkan sudah mencapai kesimpulan bahwa ia senang melihat Sandar. Ternyata. Tapi melihat keadaan Sandar yang begini, Banyu jadi bingung harus melanjutkan obrolan serius, atau menundanya saja.

Lihat saja tampang Sandar sekarang. Bukannya sendu, malah manyun sambil berusaha membuat matanya tetap terbuka. Kini ia bahkan berusaha menendang selimut yang membelit kakinya. Masih dengan menggendong sepatunya seperti menimang bayi, Sandar berusaha turun dari tempat tidur.

"Eh! EHH! Awas njungkel!" Banyu refleks menangkap tubuh Sandar yang terhuyung dari tepi ranjang. Kepala Sandar nyaris terjun duluan berkat kakinya yang tersangkut selimut.

Meski jantungnya nyaris copot karena kaget, tawa Banyu jadi meletup menyadari kekonyolan drunken Sandar. Sambil memegangi bahu Sandar yang akhirnya berhasil menapakkan dua kakinya ke lantai, Banyu bisa mencium aroma minuman dan keringat Sandar yang pernah ia kenali.

"Kamu mau kemana, sih? Istirahat dulu. Berdiri aja belom jejeg."

"Bandara."

"Hah?"

"Rinai bilaaang ... Kalau Mas Banyu nggak mau lihat aku, ya gampang. Tinggal pulang lagi ajaaa ... CABUT!"

Banyu tersentak, refleks menjauhkan kepalanya berkat suara lantang yang menonjok gendang telinganya.

"Hahahahaha!" Banyu tak bisa berhenti tertawa. Terlebih saat Sandar yang ia dudukkan di tepi ranjang malah melorot ke lantai. Jongkok sambil berpegangan pada pinggiran sprei kencang sekali.

"Anjiiing .... Turbulence-nya ngga udah-udaaah .... Ini kapan nyampenyaaa ...."

"Nyampe kemana, Sandar?" Banyu bertanya, geli. Baginya wajah Sandar yang memerah dan tak sadar ini kocak sekali.

"Rumahnya Mas Banyu ... Yang cicilannya belom lunas ... Eh! Udah lunas belom, siiihhh?"

"Buahahahah! Kenapa bahas cicilan rumah segala, sih? Kamu kepo apaan aja sama Rinai? Hahahaha."

Sandar akhirnya duduk meringkuk bersandar ke pinggiran ranjang. Banyu kini bisa melepaskan dua bahu lebarnya. Tampaknya Sandar tak akan mudah nyusruk dalam posisi ini.

"Kepo ... Ngg ... Pacarnya Mas Banyu ... yang namanya Beer. Pacaran kok sama khamr. Haram. Itu sebabnya aku nggak minum beer. Hemm... No no no no." Sandar menggoyangkan telunjuknya dan geleng-geleng. Mukanya congkak, merasa berprestasi.

Banyu geleng-geleng kepala, terkekeh mendengar omongan Sandar. "Begitu kata orang yang lagi mabok sampai hampir njungkel. Dasar ...."

Sandar mengangguk-angguk. Mengacungkan jempol. Suka dengan jawaban Banyu yang ia tangkap sebagai persetujuan atas statement bahwa khamr itu haram. Banyu jadi tertawa melihatnya.

"Sawadee khaaaaaap!" Sandar menangkupkan tangan, manggut-manggut santun.

Menggelengkan kepalanya geli, Banyu ikut duduk di lantai. Berhadapan dengan Sandar yang juga bersila sambil terunduk-tunduk. Mungkin benar, Sandar sedang mabuk, dan ini bukan saat yang tepat untuk bicara serius. Tapi entah kenapa, kondisi Sandar malah mengusir suasana kikuk dan tegang yang mungkin terjadi. Banyu tak bisa berhenti tertawa geli. Ia melunak begitu saja oleh tingkah laku di luar kendali vokalis ini.

Biru Langit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang