Sepuluh

51 9 4
                                    

Acara pensi sudah berahir satu jam yang lalu, semua anak dan wali murid sudah pulang kerumah masing-masing, tapi tidak dengan guru-guru disini. Hana memohon kepada Kepala sekolah agar para Guru dikumpulkan di kantor, Ia mengatakan bahwa ini adalah masalah yang sangat penting dan peringatan agar tidak kembali terulang.

Setelah semua Guru sudah berkumpul, Pak Kepala sekolah meminta Hana untuk menyampaikan apa yang ingin Ia sampaikan dan di diskusikan bersama.

"Saya mohon maaf telah mengganggu waktu Bapak dan Ibu Guru semua" Hana memejamkan kedua matanya sambil menarik nafas dan mengeluarkannya secara teratur, Ia mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk membuka diskusi ini, tidak bukan diskusi melainkan protes.

"Jadi begini, Saya sangat menyayangkan pemikiran Guru-guru yang membuat Anak-anak bernyanyi untuk Ibunya tanpa terlebih dahulu memikirkan keadaan seorang Anak" Hana menatap tajam kedua Guru yang bertanggung jawab dengan pementasan tadi. Dia adalah Guru wali kelas dan Guru yang melatih Anak-anak bernyanyi.

Para Guru yang memperhatikan Hana dari tadi saling melempar pandangannya, mereka heran apa yang dimaksud dengan ucapan Hana tersebut.

"Bisa diperjelas lagi?" Pinta kepala Sekolah yang mewakili semua pertanyaan Guru tersebut.

"Begitu luar biasa dan pintar sekali membuat Anak-anak memberikan bunga kepada Ibunya tanpa memikirkan nasib Anak yang sudah tidak punya Ibu." kali ini pandangan Hana tertuju pada dua wanita yang duduk disudut ruangan. Guru yang lainpun mengikuti arah pandangan Hana, disudut itu duduk dua orang Guru yang bertanggung jawab atas semua ini. Mereka adalah Wali kelas dan juga Guru yang melatih Anak-anak untuk tampil.

Guru wali kelas itu membetulkan letak kacamatanya sambil berdehem
"Kami gak sebodoh itu Bu, sebelum itu kami sudah bertanya kepada semua murid, mereka semua mengatakan bahwa Ibunya masi ada termasuk Atqia dia juga mengatakan Ibunya masi ada."

Mata Hana sudah memerah menahan amarah, Ia memejamkan matanya beberapa detik mencoba untuk meredam emosinya.
"Ibunya baru meninggal dua hari yang lalu" Hana menghapus kasar air matanya yang jatuh tiba-tiba.

"Terus kenapa saya yang disalahkan? Bukankah Atqia itu bisa mengatakannya kepada saya bahwa Ibunya baru saja meninggal dunia?" Sergak wanita tersebut yang tak mau dirinya disalahkan, karena Ia merasa sama sekali tidak melakukan kesalahan.

"Terus jika Atqia mengatakan ini kepada Ibu, apakah Ibu mau membatalkan acaranya? Atau mengubah konsekuensinya? Bukankah itu susah? Apalagi Anak-anak yang lain sudah belajar"

Suasana diruang guru ini sudah sangat memanas, ditambah lagi kipas angin yang tergantung tidak bisa dinyalakan.

"Saya tidak tahu sama sekali bahwa Atqia sudah tidak punya Ibu, dan saya baru mengetahuinya tadi saat mereka semua tampil" wanita itu masi terus saja mengelak

"Tidak tahu? Apa saya tidak salah dengar? Bukankah Ibu wali kelas mereka, lantas mengapa  Ibu sama sekali tidak mengetahui bahwa orang tua dari murid Ibu meninggal dunia? Bukankah tugas wali kelas memperhatikan anak didiknya? Apa tidak ada sedikitpun rasa empati yang ibu tanamkan pada semua murid Ibu?"
Hana mencoba mengatur nafasnya yang teregah-engah.

Sang wali kelas mulai kebingungan mencari jawaban yang begitu banyaknya pertanyanyan yang Hana layangkan. Merasa satupun dari pertanyaannya tak terjawab, Hana mulai berbicara kembali.
"Sebenarnya konsep yang Ibu buat sudah bagus, tapi alangkah lebih baiknya menghindari atau meniadakannya jika ada yang sudah tidak mempunyai Ibu atau orang tua yang sudah berpisah. Dengan tetap mengadakan acara ini secara tidak langsung sudah melukai hati gadis kecil tersebut"

"Bukankah acara tadi bisa diwalikan dengan saudara atau kerabat keluarga?" tanya Bu Guru yang berada disamping Hana

kini seorang Guru laki laki paruh baya yang berada di samping Pak kepala sekolah membuka suara.
"Iya, biasanya ada pengganti entah itu dari Bapaknya, saudaranya, kakeknya, atau tantenya yang menghadiri. Jika tidak ada yang hadir bukankah ada wali kelas yang bisa menggantikannya? Menurut saya itu juga sebagai suatu penghormatan kepada wali murid yang sudah tiada. Itu juga termasuk pembentukan mental dan karakter bahwa kehidupan itu keras".

Kepala sekolah yang mendengarkan penuturan dua guru tersebutpun ikut mengangguk setuju.

Wali kelas yang sudah menunduk dan tidak punya kata-kata lagi, kini kembali menatap mata Hana dengan percaya diri, Ia yakin sekali bahwa memang akan ada yang membelanya.

Setelah lama terdiam mencermati, kini kepala sekolah yang membuka suara "Nilai positifnya setelah teman-temannya memeluk Ibunya, mereka langsung menghampiri anak yatim tersebut dan langsung memeluk dan memberikan dukungan. Itulah esensi pendidikan dasar, yaitu melatih empati, kerjasama, dan saling suport untuk kebaikan satu sama lain"

Tanpa sadar hana berdiri dari tempat duduknya dengan emosi yang mengebu-gebu, Ia tidak lagi memikirkan setelah ini apa yang dilakukan kepala sekolah kepadanya karena sikapnya yang sudah tidak sopan. Hannya satu yang ada difikiran Hana saat ini, yaitu Ia tidak mau dan tidak rela setelah kejadian ini mental Adiknya menjadi sangat lemah.

"Bukan begitu caranya pak!"semua pasang mata melihat ke Hana yang sudah berdiri dengan nada bicara yang sudah naik satu oktaf. Ia tidak peduli jika setelah ini Ia akan dikeluarkan.

"Bijaklah Guru dalam memposisikan diri sebagai Ibunya! Setelah itu barulah teman-temannya merangkul dan memberikan hiburan hati untuk dirinya tanpa harus menyakiti hatinya terlebih dahulu. Kalian tidak memikirkan bagaimana perasaannya, peristiwa ini akan berpengaruh pada pertumbuhannya, mungkin tidak akan pernah Ia lupakan seumur hidup"

Hana mencoba meredam amarahnya dan kembali duduk di bangkunya tadi
"Dan untuk melatih empati, masih ada  begitu banyak cara melatih empati  tanpa perlu ada goresan dengan mental" kini nada bicaranya sudah normal kembali.

Mendadak ruangan menjadi senyap, entah semuanya memikirkan perkataan Hana atau memikirkan hal yang lainnya. Setelah terdiam cukup lama Hana kembali membuka mulutnya. "Saya harap kejadian ini tidak terulang kembali, saya tidak ingin anak-anak disini merasakan hatinya tergores seperti apa yang baru saja terjadi pada salah satu siswi disini."

Semua guru mengangguk setuju, begitupun dengan wali kelas. Sepertinya Ia sudah merasa bahwa dirinya melakukan kesalahan. Setelah itu kepala sekolah mengahiri debat, duskusi, protes, atau apalah itu namanya.


______________________________________________________

Masi belum terbongkar Hana teh siaha^^
Pantengin trs ya;)
(^_^.)

I am Strong [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang