Limabelas

51 7 0
                                    

Aku melihat lelaki yang disampingku dengan malas sekali, ingin sekali aku mengutuk dirinya. Aku tak habis fikir, dari banyaknya siswa dan siswi kenapa aku harus duduk di sampingnya? Tak hannya itu, aku juga benar-benar akan menjadi teman sebangkunya selama setahun.

Aku sudah mengajukan protesku kepada Wali kelas, bahwa aku keberatan jika harus sebangku dengan si kulkas ini, bisa mati kedinginan aku lama-lama. Namun, protesku sama sekali tak dihiraukan, aku tak bisa kembali ptotes ketika melihat denah tempat duduk sudah terpajang rapi di dinding kelas ini.

Sudah ke sekian kalinya, aku menepiskan buku atau barang-barangnya yang terletak di depan lapak meja ku. Aku mulai jengkel dengan tingkahnya yang semena-mena ini.

Aku membuat garis, garis yang letaknya pas di tengah-tengah meja kami dengan menggunakan stipek. Dia menatapku dengan tatapan heran.

"Ngapai, sih?" tanyanya dengan nada sinis

"Mulai sekarang dan mulai detik ini juga, tangan atau barang-barang kamu jangan ngelewati garis ini!"

"Enak aja, emang ini sekolah Bapakmu apa?"  dia mulai fokus kembali pada layar infokus yang memperlihatkan vidio penjelasan rumus-rumus fisika.

"Lahh, yang se-enak jidatnya itu kamu. Kan udah ada lapak masing-masing. Kalau semua barang kamu ada dibagian meja aku, terus aku nulis dimana?"

Aku semakin emosi melihatnya yang bersikap masa bodo, dia juga sama sekali tak mengubris perkataanku, dia kira aku ini apa? Radio rusak?

***

Sebelum pulang, aku memeriksa barangku kembali, apakah ada yang tertinggal atau ada barang si 'kulkas' itu yang ikut terbawa masuk kedalam tas ranselku. Tidak, sepertinya tak ada satu barangpun yang hilang atau tinggal. Tanpa sengaja manik mataku tertuju pada sebuah buku yang berada di dalam laci si 'kulkas'.

Dengan sedikit ragu aku mengambil buku itu, dan ternyata itu adalah sebuah komik "Detektif  Conan". Aku melihat ke seliling ruangan kelas ini. Kosong, hannya Aku sendiri yang masih berada di dalam kelas ini. Lembaran-demi lembaran serta cover bukunya masi terlihat jelas bahwa buku ini masih baru, ditambah lagi masi ada cap harnganya di belakang sampul bukunya.

Aku berniat ingin membawanya pulang dan akan ku kembalikan besok pagi. Ahhh tidak, apa yang dia pikirkan nanti, dia pasti akan menuduhku bahwa aku mengambil buku nya lagi. Tidak, aku tidak akan berurusan lagi dengannya. Toh, ini juga barang dia, siapa suruh teledor banget jadi orang.

Aku menaruh buku itu kembali ke dalam laci, menyandang tas ku dan langsung bergegas pulang ke rumah. Sebelum benar-benar keluar dari ruang kelas ini, aku menoleh ke belakang, tepat dimana buku itu aku letakkan didalam laci.

Jujur ada sedikit ragu saat aku membiarkan komik itu disana, aku tak bisa menjamin bahwa besok komik itu masi berada ditempatnya. Aku tidak mau su'uzon, tapi waspada itu juga perlu, aku belum mengetahui secara pasti tentang sifat-sifat dari teman sekelasku ini.

"Ngapai?"

Suara yang secara tiba-tiba itu langsung mengagetkan diriku dan refleks aku mengucapakan istighfar. Aku menoleh ke asal suara yang berada didelanku. Ternyata si kulkas. Cukup lama terdiam aku akhirnya membuka suara.

"Itu, buku kamu tinggal" setelah mengucapkan itu, aku langsung melewatinya begitu saja.

Setengah berlari, aku menyusuri koridor sekolah ini, nampaknya Wulan sudah pulang diluan. Aku sedikit was-was, karena jika Wulan sudah pulang, aku akan pulang dengan siapa? Tidak mungkin menaiki kendaraan umum, selain terkendala dengan ongkos yang menurutku lumayan mahal, dan juga belum ada kendaraan umum yang mau masuk ke dalam desa.

Dulu pernah ada supir angkot yang mencari penumpangnya di desaku, tetapi hannya sedikit saja yang menaikinya, ditambah lagi dengan akses jalanan belum ber-aspal yang menyebabkan jalanan berlobang disana-sini, apalagi jika sudah memasuki musim hujan, jalanan bakalan berubah menjadi kolam berenang dadakan yang akan ramai dengan anak-anak maupun angsa.

Hal itulah kenapa tak ada kendaraan umum yang mau mencari penumpang di desa-desa. Mereka akan langsung memilih untuk mencari penumpang dijalur kota saja, selain jalanan yang mulus juga penumpang yang selalu ada.

Aku masih tak melihat keberadaan Wulan,
Dia kemana sih? Kan uda janji bakal pulang bareng. Aku terus saja bergumam pada diriku sendiri.

Suara klakson mobil dibunyikan dengan kuat, sampai aku sendiri menutup telingaku. Terkadang aku heran dengan tingakah orang-orang kaya ini. Padahal aku sudah berada dipinggir, apa jalanan yang se lebar ini masih belum cukup juga.

Mobil itu berhenti tepat didepanku, terlihat kaca mobil yang disamping kursi kemudi itu turun ke bawah, dan terlihatlah wajah itu, wajah datar sedatar triplek dan dingin sedikit kutub utara. Aku melihat orang yang sedang duduk dikursi pengumudi, seorang pria paruh baya, dia tersenyum ramah ke arahku, aku pun membalas senyam pria itu dengan kikuk.

Ternyata dia anak orang yang serba berkecukupan, pantes aja kelakuannya semena-mena sama orang lain.

"Ngapai?"

Haduhh, dalam sehari aku sudah benerapa kali mendengar kata itu, kata yang keluar dari mulutnya hannya "Ngapai?" apa dia gak bisa bicara selain dari kata itu apa?

Karna tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, dia terlihat kesal karena pertanyaannya tak kunjung aku jawab. Aku sedikit menahan tawaku ketika melihat wajahnya seperti ini, jika dilihat-lihat wajahnya tak terlalu buruk. Dibalik mata elangnya, ternya tersimpan tatapan teduh yang terpancar dari matanya, alisnya yang tebal, hidung mancung, dan bibir tipis.

"Ayo, masuk! aku antar pulang"

Astaghfirullah
Aku memalingkan wajahku darinya, tanpa sadar entah sudah berapa lama aku memandangi wajahnya.

"Eng....enggak usah, rumah aku jauh"

"Udah, cepetan masuk!"

"Ta...tapi"

Dia memutar bola matanya, mungkin dia jengah melihat tingakahku.

"Cepetan masuk! Atau aku lempar ke alam lain"

Meski terdengar nada candaan, tapi menurutku itu sama sekali bukan suatu candaan, terlihat garing sekali jika si kulkas yang mengucapkannya.

Bagaimana bisa aku mengatakan apa alasanku yang tak kunjung masuk ke dalam mobilnya. Dengan tertunduk dan meremas-remas ujung jilbab putihku, akhirnya aku mengatakan apa alasanku.

"Emmm, aku gak tau cara bukak pintunya" aku melihat ke arahnya yang masih berada di dalam mobil.

Wajah menyebalkan itu, terlihat berkali-kali lipat lebih menyebalkan dari biasanya, ia terlihat mati-matian menahan tawa jahatnya, mungkin sudah tak tertahankan, keluarlah tawa jahat itu. Huhh, benar-benar menyebalkan, setelah ia fikir aku seorang pencuri, mungkin kali ini ia akan berfikir bahwa aku kampungan.

Satu hal yang tak aku mengerti, kenapa sikapnya bisa berubah-ubah? Aku bingung yang mana sifat aslinya. Pengemudi pria paruh baya itu bergegas ingin membukakan pintunya untukku, namun ditahan oleh si kulkas.

Si kulkas pun keluar dari dalam mobil itu, dan membuka knop pintu mobilnya.

"Nih, caranya kayak begini"

Aku melirik ke wajahnya, selain mengajariku cara membuka pintu mobil, aku bisa mengetahui bahwa ia juga sedang menertawai ketidak tahuan ku.







__________________________________________________________

I am Strong [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang