Sebelas

51 8 1
                                    

Aku terus berlari tanpa tau arah tujuan, Aku hannya ingin bersendiri untuk menumpahkan semua keluh kesah dan emosiku yang telah menggebu-gebu ini. Hingga akhirnya Aku memilih pergi kesawah Bapak. Sepanjang perjalanan air mataku sudah keluar tak terkendali, sesekali Aku juga menendang apa saja yang menghalangi jalanku. Kenapa ini semua terjadi padaku? Bukankah Aku masi terlalu muda untuk diberi cobaan seberat ini?

Aku terduduk sambil bersandar pada sebuah pohon mangga yang sudah sangat tua. Pandanganku kosong Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Semilir angin mengibar-ngibarkan jilbab instan putihku ternyata Aku masi mengenakan pakaian sekolah. Aku tersadar saat seseorang memegang bahku, Aku menoleh ke arahnya

"Bapak" suaraku terdengar begitu pilu, Bapak membawaku kedalam pelukannya sambil mengelus lembut pucuk kepalaku.

"Maafin Bapak ya, nak" suara Bapak terdengar penuh penyesalan. Aku melepaskan diriku dari pelukannya dan menatap manik matanya

"Bapak kemana saat Atqia di pentas?"

"Ada anak kecil lari-lari nabrak Bapak, dia gak sengaja numpahin es krimnya ke baju Bapak, Jadi Bapak ke kamar mandi sekolah"
Aku baru sadar bahwa baju Bapak sedikit basah dan noda es krim sudah tidak terlihat

"Ehhh, saat Bapak mau keluar pintunya gak kebisa kebukak"

"Terus Bapak gak kenapa-napakan?" tanyaku spontan sat mendengat Bapak terkunci, biarpun Aku sedikit marah dengan sikap Bapak yang memaksaku menghadiri acara Pensi ini, tapi Aku tidak akan tega melihat Bapakku kenapa-napa

Bapak mengegeleng " Bapak gak kenapa-napa kok"

Syukurlah Bapak tidak kenapa-napa. Aku kembali menatap air parit yang digunakan untuk mengairi sawah atau tanaman warga. "Pak, kenapa Allah ngambil Ibu secepat ini?"

Bapak melihat ke arahku sambil tersenyum getir. "Nak, setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian"

"Tapi kenapa secepat ini, Pak? Aku kan masi butuh kasih sayang seorang Ibu"
Air mataku kembali keluar, Bapak menghapus air mataku yang baru saja keluar itu

"Mulai sekarang dan mulai detik ini juga, Bapak adalah seorang Bapak dan juga seorang Ibu untuk Atqia"

Bagaimana bisa Bapak mengambil dua peran sekaligus? Aku sempat mendengar seseorang mengucapkan ini "Seorang Ibu bisa juga menjadi seorang Ayah, tapi seorang Ayah belum tentu bisa menjadi seorang Ibu" Apakah Bapakku bisa menyanggupi kedua peran tersebut?

"Emang Bapak bisa? Bapakkan udah capek seharian gurusin sawah"

"Apapun pasti bisa Bapak lakukan untuk kamu, nak"

***

Setelah makan malam dengan lauk seadanya, Aku terus berada didalam kamarku. Kehilangan sosok Ibu membuat suasana rumah ini begitu sepi dan membosankan. Setiap Aku mengalihkan padangan dari satu sudut ruangan ke ruangan yang lain, Aku selalu saja melihat sosok Ibu dimana-mana. Seperti cap tanganku yang berada disalah satu dinding kamar ini dan tinggi badanku yang selalu diukur oleh Ibu. cap tangan itu aku yang membuatnya saat baru pandai berjalan. Dengan dibantu Ibu, Aku tertatih-tatih mendekati dinding itu dan menempelkan telapak tanganku yang sudah dilumuri pewarna merah.

Kejadian itu seperti kaset memori yang diputar kembali oleh pikiranku, Andai waktu bisa diputar kembali. Aku mendengar ada yang mengetuk pintu dari luar sambil mengucapkan salam. Aku bergegas membuka pintu sambil menjawab salam dari orang yang berada diluar sana.

Siapa yang bertamu malam-malam begini? Setelah pintu terbuka dengan lebar terlihatlah seorang wanita yang sudah Aku kenali wajahnya. Kenapa Ia bisa ada disini? Oh iya, Aku baru ingat bukankah Ia sendiri yang bilang bahwa Ia mengetahui segalanya tentangku.

"Hana, mari masuk!" panggil Bapak yang sudah berada di belakangku. Bapak juga mengenalinya? Terus kenapa Aku tidak mengenalnya sama sekali?

Wanita itu masuk ke dalam dan duduk dikursi rotan yang berhadapan dengan Bapak. Saat wanita itu duduk, terdengar decitan khas dari kursi yang sudah tua dan mulai rapuh itu. Bapak menyuruhku membuatkan teh untuk wanita itu, tetapi dengan cepat Ia menolak, Ia hannya meminta kepadaku agar Aku duduk disampingnya

"Sedih itu boleh, tapi sewajarnya aja karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik" Ia melihat ke arahku yang duduk disampingnya, sedangkan Bapak hannya duduk diam sambil memperhatikan kami.

"Atqia mungkin sudah lupa sama Kamu, Han" Bapak mengambil tehnya yang masih sangat panas dan menuangkannya ke piring kecil. Tujuan Bapak melakukan itu agar teh tersebut cepat dingin.

"Bener nih gak ingat sama sekali?" tanya wanita ini menatapku dengan penuh selidik. Aku hannya mengangguk, memang benar Aku sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya.

"Wajar aja sih kalau gak tau, soalnya Aku ke kairo kan saat Kamu umur dua tahun" terdengar ada rasa sedikit kecewa dikalimatnya. Aku semakin penasaran siapa dia sebenarnya.

Bapak tertawa renyah mendengar penuturan wanita itu. "Yaudah kenalan lagi!"

"Nih, kenalin nama Aku Suhana Gusmi, panggil aja Mbak Hana!" Ia mengulurkan tangan kanannya ke arahku, Akupun membalas jabatan tangannya.

"Atqia Safira, Mbak"

"Udah, tau kale" terdengar tawa dari dia dan juga Bapak. Apakah salahku jika Aku tidak mengenalnya? Kenapa mereka menertawaiku.

"Disamping rumah kita dulu ada satu rumah yang ditempati Mbak Hana sama orang tuanya" Bapak berhenti berbicara, Ia menyeruput teh nya yang berada dipiring kecil itu. Setelah habis teh yang didalam piring, Bapak menuangkan kembali teh yang ada dicangkir alumunium ke piring kecil tadi.

Bapak menatapku yang sudah bersedia menunggu ke lanjutan dari ceritanya itu. "Saat Mbak Hana umur 15 tahun, mereka sekeluarga sedang berlibur diakhir pekan. Saat diperjalanan, bus yang mereka naiki mengalami kecelakaan beruntun, mereka semua langsung dibawa kerumah sakit terdekat"

Mbak Hana mulai menunduk, Aku tahu Ia sedang menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Kondisi Hana hannya ada beberapa luka goresan dan beberapa lebam saja, tetapi tidak dengan kedua orang tua Hana. Keadaan mereka begitu parah hingga tenaga medis tak mampu membantu menyembuhkan keduanya"

Aku terkejut saat baru menyadari bahwa Mbak Hana adalah anak yatim piatu, ternyata keadaanku tak seberapa dengan orang diluaran sana.

"Sebelum mereka menghembuskan nafas terahirnya, keduanya memberikan amanah meminta Bapak dan juga Ibu menjaga dan merawat Hana. Mereka juga mengatakan bahwa Hana harus kuliah di Al-azhar kairo, mereka menyuh Bapak menjual tanah dan rumah mereka, agar hasil dari  menjual rumah mereka bisa menjadi ongkos dan biaya hidup Hana di mesir sana."

Aku manggut-manggut pertanda Aku faham semua yang di sampai kan oleh Bapak.

"Terus Mbak Hana disini tinggal dimana?"

"Rumah sewa yang ada disana"

"Kenapa gak tinggal disini aja?"

Mbak Hana tertawa garing "Mbak udah cukup banyak menyusahkan Mas Burhan sama Mbak Azizah. Mbak gak mau jadi beban lagi"

"Apa maksudmu, Han?" tanya Bapak yang tak terima bahwa kedatangan dirinya adalah beban untuknya.

Mbak Hana hannya tersenyum menjawab pertanyaan Bapak dan langsung mengalihkan topik pembicaraan, setelah lama mengobrol Mbak Hana langsung pamit pulang ke rumah sewanya. Aku dan bapak sudah menyuruhnya untuk menginab untuk nalam ini, tetapi dengan lembut Ia menolak permintaanku.



________________________________________________________

Nah udh tau Hana itu siapa kan wkwk

I am Strong [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang