“Hatimu laksana puzzle tak sempurna. Sementara aku sekadar kepingan yang hilang, tak tahu jalan pulang. Bolehkah kusinggahi satu ruang hatimu? Mengisi kekosongan, memecahkan kehampaan.”
***
Kantin dipenuhi oleh para siswa yang tengah menghabiskan waktu istirahat. Di deret bangku paling ujung, empat orang lelaki menikmati makanan dengan canda yang nyaris mendominasi suasana. Meski masih menyandang sebagai siswa baru, mereka terlihat tidak canggung. Pertemanan yang telah dijalin sejak SMP membuat mereka akrab satu sama lain.
Selagi yang lain saling melemparkan cerita, Davin---lelaki beriris mata kelam itu hanya berfokus memusatkan pandang pada seorang gadis berjarak tiga bangku di depannya. Ia sesekali menanggapi ocehan ketiga temannya dengan gumaman dan anggukan. Sementara pikirannya pun tertuju pada gadis itu.
“Biasa aja dong lihatinnya!” Fero yang duduk di depan Davin meraup wajah sahabatnya itu. Ia lantas menoleh ke belakang, mendapati figur Nayla yang tengah menikmati makanan pula. Embusan napas kasar terudara dari lelaki itu selagi kembali menatap Davin. “Pantesan. Lagi lihatin gebetan.”
“Sape, nih?” Aldi turut menoleh ke belakang. Ia tak dapat menahan senyum jail ketika menyadari bahwa sedari tadi Davin mengamati Nayla. “Oh, Nayla. Seperti tercium bau-bau bunga bermekaran nih,” ucap lelaki itu sembari mengendus-endus sekitar. Namun, ekspresinya berubah ketika mencium bau menyengat.
“Ketek gue enggak usah lu endus-endus!” gertak Bagas seraya menjauhkan kepala Aldi dari tubuhnya.
“Sial!” Aldi mengusap hidungnya dengan brutal. Andai ada parfum, sudah pasti ia akan menumpahkannya pada baju Bagas. “Lo mandi dong, udah SMA masih aja bau. Ilfil ntar cewek-cewek sama lo.”
Belum sempat Bagas menanggapi, lebih dulu suara gesekan kursi dengan lantai menyita perhatian. Davin bangkit dari duduknya kemudian berucap, “Gue mau caper dulu, Guys.” Lantas, ia berlalu dari hadapan ketiga temannya
“Jujur amat.” Faro memandang kepergian Davin hingga lelaki itu mengambil tempat duduk di depan Nayla. “Tuh anak ngebet banget perasaan. Padahal baru dua hari kenal.” Ia geleng-geleng kepala, kembali menikmati makanannya.
Sejak kegiatan MOS dua hari lalu, Davin memang selalu mendekati Nayla. Tak segan pula berkata suka. Meski kadang Nayla risi dengannya yang selalu mengganggu, Davin terus mencoba mengambil perhatian gadis itu.
Seperti sekarang ketika ia telah duduk di depan Nayla. Meski terlihat dari raut Nayla bahwa gadis itu tak menyukai kedatangannya, Davin masih ingin berusaha. Lelaki itu menyerahkan kentang goreng yang dibawanya ke hadapan Nayla. “Nih, buat lo. Gue traktir, mumpung lagi ada duit,” ucapnya dengan senyum lebar, menunjukkan lesung pipinya yang dalam.
Jika orang lain, mungkin akan langsung meleleh melihat senyuman Davin. Namun, Nayla justru menunjukkan ekspresi datar. “Buat lo aja, gue udah kenyang,” ucapnya. Ia menatap ke arah meja pemesanan, menunggu Karin yang tak kunjung datang. Jujur saja ia tak nyaman duduk hanya berdua bersama Davin meski mereka teman sekelas.
“Ya udah, kalo lo maksa.” Davin menarik kembali kentang goreng dari hadapan Nayla. Ia mulai memakannya satu per satu.
“Siapa juga yang maksa?”
“Oh, jadi sebenernya lo mau? Ambil aja nih, enggak usah malu-malu gitu. Nih, gue---“
“Lo jauh-jauh aja sana, deh. Males dengerin lo ngomong,” kesal Nayla seraya mengibaskan tangannya, isyarat agar Davin berlalu. Baru dua hari kenal, tetapi ia sudah sering dibuat naik darah oleh Davin. Ia tak dapat membayangkan jika harus satu kelas dengan lelaki itu selama tiga tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance✔️
Teen FictionDavin selalu bertanya pada Tuhan, "Apa kalau saat itu aku nggak minta Mama dateng, Mama bakal masih ada sampai sekarang?" Sebab, harinya tak pernah lekang dari kalimat penuh kebencian yang kakaknya lontarkan. Mencacinya yang pernah begitu egois, men...