“Kenang menari di atas waktu yang terus bergulir. Selalu dan takkan berhenti. Pada akhirnya, detik waktu tak pernah sendiri. Kenang yang mengikuti akan terus menjadi saksi .”
***
Langkah Revan memelan tatkala netranya menangkap figur Gilang di depan ruang rawat. Ia membuang muka kala Gilang menatapnya dengan raut tak suka. Mendadak Revan menyesali keputusannya untuk mendatangi tempat ini. Rasanya ia tak perlu datang sebab sudah ada Gilang.
“Ke mana aja lo? Keadaan kayak gini lo masih bisa nggak peduli?” Gilang berkata dengan nada pelan sebab tak ingin menganggu ketenangan rumah sakit. Tatapnya tertuju pada Revan yang telah berdiri di hadapannya.
“Lo enggak usah ikut campur urusan gue, bisa? Pulang sana!”
“Oh, udah sadar kalau semua ini urusan lo? Ya udah, urusin sebaik mungkin!” Gilang mengambil tas di kursi, berniat untuk pergi. Ia sempat menatap pintu ruang rawat Davin, memikirkan apakah harus berpamitan dengan Vina atau tidak. Sampai akhirnya ia memilih untuk mengirim pesan saja, sebab tak ingin mengganggu Davin yang mungkin sedang beristirahat.
Lelaki itu kembali menatap Revan. “Gue harap lo enggak kabur. Mereka butuh lo,” ucapnya, lantas benar-benar berlalu dari hadapan Revan.
Setelah Gilang tak lagi terlihat, Revan mendudukkan tubuh pada kursi. Ia bersandar pada tembok, sedikit mendongakkan kepala dengan mata terpejam. Embusan napas keras terudara dari lelaki itu.
Revan tak pernah menyukai rumah sakit. Tempat itu selalu membangkitkan kenangan buruk tentang mamanya. Namun, kali ini ia tak dapat menghindar. Suara sang papa yang begitu penuh permohonan membuat hatinya yang keras sedikit melunak.
Lelaki itu hanya diam tanpa berniat menengok kondisi adiknya. Namun, kesepian di sekitar membuat pikirannya dipenuhi kenangan yang naik kembali ke permukaan. Suara isak tangis muncul dalam benak Revan, bersama bayang kejadian yang terpampang nyata.
Revan masih sangat mengingat betapa dulu kesedihan pernah mendekapnya begitu erat. Di tempat ini, di salah satu ruangan yang enggan Revan jamah lagi. Kala itu, mendung dan rintik yang mengiringi pernah menjadi saksi kehancuran hati Revan. Masih membekas ketika ia turun dari ambulans bersama Davin. Disusul petugas medis yang menurunkan brankar dengan tubuh mamanya yang terbaring di sana dengan bersimbah darah.
Tak peduli dengan tubuhnya yang kuyup, Revan turut mengikuti brankar hingga petugas medis membawanya memasuki ruang IGD. Lelaki 15 tahun itu terduduk di lantai selagi mamanya ditangani. Pikiran buruk menguasai sebab sempat melihat petugas medis kewalahan memberikan pertolongan untuk sang mama di dalam ambulans.
Tatapan Revan jatuh pada sang adik yang menangis dengan tubuh berdiri gemetar di depan pintu IGD. Susah payah ia berdiri dari duduknya dengan bertumpu tembok. Revan mendekati Davin, mendorong keras anak itu hingga nyaris terjatuh. “Ini semua gara-gara lo! Kalau lo enggak egois, Mama nggak bakal celaka kayak gini. Kalau sampai keadaan Mama makin buruk, gue enggak bakal pernah maafin lo!” tegas Revan pada Davin yang makin terisak.
Beberapa waktu kemudian, pintu ruang IGD terbuka. Revan segera menghampiri dokter yang keluar dengan wajah lelahnya. “Dok, gimana kondisi mama saya? Mama baik-baik aja, ‘kan?” Revan tak langsung mendapat jawaban. Ia dapat menangkap keraguan yang terpancar di wajah dokter itu. Hingga tatkala sebuah kalimat terucap, saat itu pula dunia Revan terasa runtuh.
“Mohon maaf, nyawa pasien tidak dapat tertolong karena mengalami pendarahan hebat---”
Revan menggeleng keras. Tanpa mendengarkan apa pun lagi dari sang dokter, ia masuk ke dalam ruangan. Tangisnya pecah tatkala mamanya terbaring tanpa mendapat penanganan apa pun. Ia mendekat dengan langkah lunglai, mengamati wajah sang mama yang begitu pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance✔️
Fiksi RemajaDavin selalu bertanya pada Tuhan, "Apa kalau saat itu aku nggak minta Mama dateng, Mama bakal masih ada sampai sekarang?" Sebab, harinya tak pernah lekang dari kalimat penuh kebencian yang kakaknya lontarkan. Mencacinya yang pernah begitu egois, men...