"Dalam ruang ini hanya ada kita. Dinding-dinding menggantung rasa yang sama, tapi belum mampu kita eja. Detik melaju, memecahkan rahasia semesta yang dibungkam waktu."
***
Davin masih ingat betapa dulu ia sangat bahagia ketika orang tuanya mendirikan rumah pohon di halaman belakang. Davin berumur sepuluh tahun tepat saat rumah pohon itu dibuat. Hingga saat ini, tempat itu masih menjadi favoritnya.
Meski sudah hampir tiga tahun tak sering lagi disinggahi, Davin masih betah menghabiskan waktu di sana. Bahkan ia mendesain bagian dalam rumah pohon dengan begitu apik, merawatnya lebih baik daripada kamarnya sendiri.
Davin duduk di atas karpet usai mengambil lukisan wajah Nayla yang telah ia rampungkan. Ia menatap kanvas yang dipegangnya dengan penuh senyum. Lantas, mengambil lukisan lain yang dibuatnya beberapa bulan lalu---lukisan wajah mamanya. Ia menjajarkan kedua lukisan itu, mengamatinya dengan saksama.
“Kalau mama masih ada, Davin pengin ngenalin Nayla ke mama. Biar mama tau kalau ada perempuan yang senyumnya seindah mama,” ucap Davin dengan lirih. Meski sebuah senyum masih terlukis di wajah, tetapi netranya tampak berkaca-kaca.
Davin menyandarkan punggung pada bed kecil di belakangnya seraya menekuk kaki. Setiap melihat wajah sang mama, selalu timbul perasaan bersalah di hatinya. Kadangkala ia memikirkan perkataan Revan yang selalu memaki dirinya. Bohong kalau Davin baik-baik saja setiap kali dicap sebagai pembunuh ibunya sendiri. Ia juga manusia biasa yang memiliki hati.
Setiap kali lelah dengan semua perkataan-perkataan kasar itu, Davin akan berdiam diri di tempat ini. Menangis sepuas mungkin tanpa seorang pun yang tahu. Sebab nyatanya, ia pun merasakan kesedihan yang sama. Ia pun teramat kehilangan sosok mamanya.
Hanya saja, Davin tak ingin kesuraman di rumahnya makin menjadi jika ia selalu terpuruk dalam kesedihan. Itulah alasan Davin selalu berusaha tersenyum. Namun, sepertinya Revan memaknai sikapnya sebagai hal yang tak pantas dilakukan. Di mata kakaknya, ia tampak seperti orang jahat yang menari bahagia di atas dosa-dosa.
Davin menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Ia mengusap mata tatkala cairan bening yang memupuk di sana hendak tumpah. Lelaki itu tak ingin larut dalam air mata untuk saat ini.
Davin meraih ponsel di atas bed, lantas mencari kontak Nayla. Ia menekan ikon untuk memulai panggilan, hingga nada tunggu terdengar. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya terdengar suara Nayla.
“Halo. Maaf, dengan siapa, ya?”
Davin tertawa pelan mendengar perkataan Nayla. “Lo nggak nyimpen nomer gue?” tanya Davin. Hela napas keras dapat ia dengar dari seberang telepon.
“Davin pasti. Kenapa?”
“Sibuk nggak, Nay?”
“Ya, tergantung lo mau apa dari gue.”
“Kalau gue minta ketemu, bisa? Gue mau ngasih something buat lo.”
“Apa?”
“Kalo gue kasih tau sekarang nggak surprise, dong. Rumah lo deket sekolah, ‘kan?” tanya Davin, sebab ia selalu melihat Nayla berangkat mengendarai sepeda. Hingga ketika gadis itu mengiakan, Davin kembali berucap, “Ke taman deket sekolah, bisa? Lo dua puluh menit lagi aja berangkatnya, biar sampai bareng.”
“Bentar, deh. Kenapa gue harus dateng? Sepenting apa?”
“Gini aja, deh. Dateng apa enggaknya terserah lo, tapi gue bakal tetep nunggu lo di sana. Oke? See you, Nay. Gue tutup dulu, sorry.” Davin menutup panggilan secara sepihak. Sengaja agar Nayla tak makin banyak mengoceh. Ia yakin jika gadis itu akan mencercanya dengan bermacam pertanyaan jika pembicaraan terus dilanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance✔️
JugendliteraturDavin selalu bertanya pada Tuhan, "Apa kalau saat itu aku nggak minta Mama dateng, Mama bakal masih ada sampai sekarang?" Sebab, harinya tak pernah lekang dari kalimat penuh kebencian yang kakaknya lontarkan. Mencacinya yang pernah begitu egois, men...