Bab 29: Pahit Manis Hidup

1.8K 166 16
                                    

"Kamu kuat, karena banyak doa yang terikat."

***

Selalu ada masa di mana Davin merasa begitu suntuk untuk seharian berdiam diri di rumah. Di saat-saat seperti ini, ia akan merepotkan sang kakak untuk menemaninya jalan-jalan. Memutari kota meski tak singgah di tempat mana pun. Cukup menikmati pemandangan gedung tinggi dari balik jendela mobil, sesekali dimanjakan dengan indahnya suasana kota yang tak selamanya tentang polusi.

Berhubung mood Revan sedang bagus, maka lelaki itu sedari tadi tak kalah semangat dengan adiknya. Ya, setelah berhari-hari galau, akhirnya tadi malam ia mendapatkan pesan penuh tulus dari gadis yang ia sukai. Gadis itu akhirnya mulai membuka hati.

Baby you light up my world like nobody else
The way that you flip your hair gets me overwhelmed
But when you smile at the ground, it ain’t hard to tell
You don’t know, oh-oh
You don’t know you’re beautiful

Mungkin kalau orang-orang dapat melihat suasana di dalam mobil yang Davin dan Revan tumpangi, mereka akan mengernyit keheranan. Barangkali juga berprotes karena dianggap tak fokus berkendara sebab sibuk menyanyi tidak jelas. Begitu keras, dengan suara yang terbilang pas-pasan. Bahkan sesekali terdengar seperti tikus kejepit ketika memaksakan diri menembak nada tinggi.

Kedua lelaki itu tertawa usai mengakhiri konser dadakan mereka. Seketika teringat masa SMP dulu. Mereka pernah menjadi fans garis keras grup musik One Direction. Kalau Vina ikut, bukan bertambah tenang, malah akan semakin gonjang-ganjing. Gadis itu perangainya lebih heboh dari siapa pun kalau menyangkut 1D. Nyaris semua lagu mereka hafalkan. Katanya bekal sebelum ikut konser sewaktu-waktu nanti. Sampai akhirnya, impian itu tenggelam oleh peliknya masalah hidup yang mereka jalani.

“Jadi inget jaman old. Sehari aja nggak muter lagunya 1D berasa ada yang kurang. Boker aja sambil karokean.” Di ujung tawanya, Davin geleng-geleng kepala mengingat masa lalu.

“Gue malah hampir lupa kalo kita pernah sesuka itu dengerin mereka,” balas Revan, tak kalah keheranan. Karena pada kenyataannya, ia memang nyaris menenggelamkan sedalam mungkin semua kenangan di masa-masa itu.

Davin terkekeh kecil. “Ternyata banyak banget ya yang udah lo lupain. Kalo gue, saking ingetnya kadang sampai bikin nangis. Kayak sedih aja gitu, ternyata gue pernah sedeket itu sama lo. Ternyata lo pernah se-care itu sama gue. Eh, tapi kok tiba-tiba jadi galak? Tau nggak, Kak? Gue tuh sebenernya cengeng banget kalau habis dibentak-bentak sama lo, cuma enggak di depan lo aja nangisnya.”

Revan merasa hatinya seperti tercubit ketika mendengar pengakuan sang adik. Betapa jahat ia memperlakukan Davin kala itu, sampai-sampai tak sadar luka seperih apa yang selalu ia torehkan. Bahkan tanpa perasaan, ia selalu menganggap Davin sebagai manusia paling bahagia di dunia, yang menari di atas penderitaannya.

“Tapi sekarang gue seneng,” sambung Davin. “Gue seneng karena kita udah deket lagi, karena lo peduli sama gue lagi, bahkan mau aja direpotin buat nemenin muter-muter tanpa tujuan gini. Makasih ya, Kak, lo udah kasih gue kesempatan buat merealisasikan hal yang sebelumnya gue pikir bakal mustahil buat terjadi. Dulu gue kira, kita enggak bakal bisa kayak sekarang ini.”

“Akhirnya doa lo yang terkabul. Gue kalah, tapi gue merasa menang.”

“Gimana maksudnya?”

“Gue kalah karena kesalahan gue, tapi justru dari sana gue belajar banyak. Waktu itu, gue enggak pernah sehari pun ngerasa bebas. Kayak ada yang tinggal di hati gue, yang tiap hari bikin gue pengin marah. Nggak kenal rasa sabar. Tapi sejak gue mulai nerima segalanya, yang ngeganjel itu hilang. Gue bisa bernapas lega, bisa ketawa bahagia, seolah-olah gue dilahirin lagi setelah sempat mati.”

Chance✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang