“Aku membersamaimu di tengah keruhku. Mari kembali ciptakan ‘saling’, yang tak lekang oleh kata ‘asing’”
***
Arman mengusap surai hitam putra bungsunya dengan penuh sayang. Anak itu dapat tenang setelah ia datang. Arman jelas terkejut mendapat laporan bahwa putranya kembali histeris. Hatinya merasa sakit setiap kali melihat Davin seakan tak memiliki semangat hidup. Senyum yang biasa menyapanya setiap kali bertemu, kini benar-benar telah direnggut.
“Davin udah enggak bisa ngapa-ngapain lagi, Pa. Semuanya hilang,” ucap Davin dengan suaranya yang begitu sendu. Ia pandangi langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Sesekali tersenyum kecut ketika membayangkan potret dirinya yang berhasil meraih semua angan---sebuah hal yang hanya dapat ia bayangkan.
Arman membiarkan Davin mengeluarkan semua yang mengganjal dalam hati. Ia tak ingin anak itu menimbun lebih tinggi gunungan lukanya. Arman sudi mendengarkan apa pun yang Davin ceritakan. Ia akan bersedia menampung segala keluhan yang putranya suarakan.
“Pertama mama, kakak, temen, dan sekarang mimpi-mimpi Davin juga udah hilang. Hidup Davin pasti bakal lebih nyusahin lagi sekarang. Sedihnya lagi, nggak ada yang bisa Davin lakuin buat bales semua kebaikan Papa selama ini. Kakak juga pasti bakal lebih sering marah-marah liat Davin yang enggak guna.”
Arman menghela napas. Ia menggeleng, menyangkal semua hal yang putranya ucapkan. “Enggak akan ada hal kayak gitu, Dav. Papa enggak minta Davin buat jadi orang hebat. Papa cuma pengin lihat Davin semangat buat sembuh. Kakak juga cuma kepengin itu.”
“Tapi kenyataannya Davin emang enggak bisa apa-apa, Pa. Cuma bisa nyusahin.”
Arman membuka laci nakas, mengeluarkan sebuah buku dari dalam sana. Ia memperlihatkan setiap gambar yang Davin guratkan di buku sketsanya. “Menurut Papa, semua yang pernah Davin lukis di kertas ini bukan sekedar gambar biasa. Allah mungkin mengambil kaki Davin, tapi Davin masih punya dua tangan yang hebat. Tangan Davin bisa mengabadikan kenangan, yang enggak semua orang bisa ngelakuin itu.”
“Ini waktu Davin berhasil jadi kapten tim yang hebat.” Arman menunjukkan lukisan di mana Davin dan tim basket sekolahnya dulu menjadi juara pertama dalam turnamen. Davin pernah mengangkat piala dengan penuh rasa bangga. “Kalau ini, ini ketika Mama menjadi malaikat.”
Davin meneteskan air mata ketika melihat potret perempuan bersayap dalam buku sketsa miliknya. Ia ingat pernah melukis itu tepat dua hari setelah Mama meninggal.
Arman menutup buku di tangannya usai menyusuri setiap kenangan yang pernah Davin abadikan dalam sebuah lukisan. Ia kemudian menatap Davin, mengusap cairan bening yang menetes lewat sudut mata putranya.
“Artinya apa? Davin enggak pernah benar-benar kehilangan, karena Davin menyimpan semua yang Davin sayang dalam buku ini. Mereka abadi. Davin tau nggak, kenapa Mama dulu memilih cita-cita buat jadi seorang pelukis?”
Davin menggeleng.
“Karena sama seperti Davin, Mama juga pengin menyimpan semua kenangan dalam karya yang dibuat dengan tangannya sendiri. Katanya, karya seni itu bisa bicara dan bisa kita rasa melalui semua indra tanpa perlu kata-kata. Hebatnya lagi, Davin bisa membuat orang lain pun ngerasain hal yang sama.”
Arman meraih tangan Davin dan menggenggamnya dengan erat, lantas mengguratkan sebuah senyuman. “Papa pengin tangan ini melukis lebih banyak lagi karya-karya indah. Kasih tau semua orang bahwa kekurangan yang Davin punya bukan penghalang untuk bahagia. Kasih tau mereka bahwa Papa punya anak bernama Davin yang bisa bikin orang baper cuma karena lihat lukisannya. Jadiin karya-karya itu alasan hidup Davin. Karena kalau suatu saat Davin harus pulang, karya itu yang akan buat Davin tetap terkenang di hati orang-orang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance✔️
Teen FictionDavin selalu bertanya pada Tuhan, "Apa kalau saat itu aku nggak minta Mama dateng, Mama bakal masih ada sampai sekarang?" Sebab, harinya tak pernah lekang dari kalimat penuh kebencian yang kakaknya lontarkan. Mencacinya yang pernah begitu egois, men...