“Seiring bertambah masa, bertumbuh sia-sia. Alunan diammu tetap kaku. Lagumu bernada tatapan beku. Rumpang tak kunjung rampung. Penat terus saja pekat.”
***
“Kak, Kak Revan di kelas ini bukan?” tanya seorang siswi kelas sepuluh pada salah satu penghuni XII IPS 2. Lelaki yang tengah bersandar pada pintu itu memberi isyarat dengan dagu bahwa Revan ada di belakang gerombolan enam siswi di hadapannya.
Mereka berenam sontak menoleh ke belakang, mendapati figur seorang siswa yang membuat mereka tertegun di tempat. Ketampanan seorang yang tengah berjalan menyusuri koridor itu ternyata bukan mitos. Beberapa dari mereka langsung mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera pada Revan yang makin dekat.
Revan terpaksa menghentikan langkah ketika tak ada ruang tersisa untuk dilewati. Ia tatap para siswi di hadapannya dengan alis menyatu. Melihat seseorang yang masih mengarahkan kamera padanya, Revan mulai marah. “Lo ngapain?”
Siswi itu langsung menurunkan kamera dan berubah canggung. Suara dengan nada dingin yang menyimpan ketegasan itu bagai membekukan dirinya.
“Minggir!”
“Kakak Kak Revan, ‘kan? Boleh minta tanda tangan nggak? Disuruh kakak OSIS.” Seorang siswi yang tampak lebih berani dibanding yang lain, menyodorkan kertas dan bolpoin pada Revan.
“Harus banget gue?”
“Iya, Kak. Katanya kalo bisa dapetin tanda tangan Kak Revan, kita bakal dapet hadiah. Kita temen sekelasnya Davin kok, Kak. Davin adik Kakak, ‘kan? Jadi, kita boleh minta tanda tangan Kakak, ‘kan?”
Mendengar nama Davin disebut-sebut, Revan mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Situasi macam apa ini? Bahkan ia yang tak tahu apa pun tentang kegiatan MOS, dikait-kaitkan dengan permainan bodoh seperti ini. Ia lebih marah lagi ketika siswi di hadapannya menyebut Davin sebagai adiknya.
“Gue enggak pernah punya adik, dan soal tanda tangan itu sama sekali bukan urusan gue!” Revan menubruk mereka begitu saja untuk lewat, tak peduli dengan dua siswi yang hampir terjatuh karena tindakannya. Pikiran Revan dipenuhi prasangka. Jika sampai Davin yang menjebaknya dalam situasi tadi, ia benar-benar tak akan mengampuni lelaki itu.
***
Para siswa kelas sepuluh tengah berkumpul di aula untuk menyaksikan pengenalan kegiatan ekstrakulikuler. Setelah bermenit-menit mendengarkan, pengurus OSIS membagikan angket untuk memilih kegiatan ekstrakulikuler yang diminati.
Davin duduk melingkar dengan Fero, Bagas, dan Aldi. Waktu pemilihan hampir habis, tetapi Davin dan Fero baru memilih satu. Sementara Aldi dan Bagas sama sekali belum menjatuhkan pilihan pada kegiatan ekskul satu pun.
“Udah, kalian berdua ikut basket aja kek gue sama Fero.” Davin melemparkan pendapat. Ia duduk santai dengan menekuk satu kaki. Tangannya sibuk mengisi formulir pendaftaran seleksi tim basket yang beberapa saat lalu ia minta dari perwakilan ekskul.
“Males amat,” tolak Aldi. “Ekskul bola bekel nggak ada, ya? Gue padahal atlet tetap bola bekel Indonesia.”
“Jangan mulai malu-maluin, di sini orangnya ratusan. Volume agak dikecilin,” protes Bagas. Lelah memikirkan, akhirnya lelaki itu memilih ekskul tata boga. Ia berpikir jika dengan mengikuti kegiatan itu, hidupnya akan makmur oleh makanan.
“Njir, Bagas milih tata boga.” Aldi terpingkal melihat kelakuan Bagas. Wajah temannya itu bahkan terlampau santai setelah melakukannya. “Agak gentle dikit dong, masa masak-masakan?”
“Eh, jangan menyempitkan makna gitu, dong.” Nayla yang duduk di sebelah Bagas tak sengaja menguping pembicaraan Aldi. Ia berkomentar sebab merasa risi dengan ucapan lelaki itu. “Lo tau Chef Juna, Chef Arnold? Lo pikir mereka sukses karena apa? Ya masak. Lo pikir mereka kek cewek? Lebih nggak gentle lo kalik yang nyari-nyari ekskul bola bekel.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance✔️
Novela JuvenilDavin selalu bertanya pada Tuhan, "Apa kalau saat itu aku nggak minta Mama dateng, Mama bakal masih ada sampai sekarang?" Sebab, harinya tak pernah lekang dari kalimat penuh kebencian yang kakaknya lontarkan. Mencacinya yang pernah begitu egois, men...